Pandangan Dua Guru Besar Hukum Internasional soal Perjanjian FIR
Terbaru

Pandangan Dua Guru Besar Hukum Internasional soal Perjanjian FIR

Tak ada keuntungan bagi Indonesia dari perjanjian tersebut. Kecerdikan Singapura mampu mengecoh negosiator Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Ternyata Singapura sangat cerdik menegosiasikan perjanjian FIR, sehingga para negosiator Indonesia terkecoh,” kata dia.

Menurutnya, FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapapun saat perjanjian efektif berlaku, ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37 ribu kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Bagi negara tetangga seperti Indonesia, ketinggian 0-37 ribu kaki amat krusial. Hal ini dimaksudkan agar pesawat udara mancanegara bebas/mudah melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.

Dia menilai Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub atau pengumpul untuk berbagai penerbangan dari atau ke penjuru dunia. Karenanya, keselamatan haruslah dipastikan. Sebaliknya, bila FIR diserahkan ke Indonesia, bakal mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub. Setidaknya terdapat dua kecerdikan Singapura hingga mampu mengecoh negosiator Indonesia.

Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail. Menurutnya, bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian terdapat peribahasa yang selalu menjadi panduan yaitu the devil is in the details yakni seorang lawyer dalam memenangkan sebuah negosiasi haruslah bermain di level yang sangat detail. Bila lawan negosiasi tak suka urusan detail bakal menjadi “makanan empuk”.

“Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang, namun dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian.”

Hal itu tertuang dalam perjanjian FIR soal pendelegasikan Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia tak memiliki cetak biru dalam mengambil alih infrastruktur yang dibutuhkan, hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan.

Kedua, kecerdikan memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan. Menurutnya, pemaketan tersebut amat merugikan di tahun 2007 saat perjanjian ekstradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan. Baginya, Singapura tahu betul efektivitas berlakunya perjanjian FIR. Sebab, selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing, juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.

Tags:

Berita Terkait