Pakar Pidana: Penegak Hukum PK Bukan Terobosan, Tapi….
Utama

Pakar Pidana: Penegak Hukum PK Bukan Terobosan, Tapi….

Ada sejumlah alasan mengapa penegak hukum tidak bisa PK, termasuk menyalahi KUHAP. KPK belum bisa berkomentar banyak mengenai pengajuan PK ini atas putusan kasasii karena hingga sekarang KPK belum menerima salinan putusan resmi dari MA.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Eddy mengakui tidak ada larangan bagi penegak hukum mengajukan PK, tapi hal itu bukanlah alasan pengajuan karena bukan berarti yang tidak diatur itu boleh dilakukan. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pengajuan PK yaitu apakah bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum, dan atau tertib hukum.

 

"PK oleh jaksa itu bertentangan tertib hukum, karena ia ‘menjungkirbalikan’ asas hukum tadi, melanggar Pasal 266 KUHAP," tuturnya. Baca Juga: Saran Ahli ke KKP tentang Lepasnya Terdakwa

 

Sepengetahuannya hanya ada satu negara di dunia yang peraturannya memperbolehkan penegak hukum mengajukan PK yaitu di Jerman demi menemukan kebenaran materiil. Di negara tersebut, penuntut umum mengumpulkan seluruh bukti termasuk untuk meringankan, bahkan menghilangkan penuntutan kepada terdakwa. Pertanyaannya, bagaimana dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun?.

 

"Kan di UU Pemberantasan Korupsi bahwa apabila kerugian negara secara nyata, putusan bebas, putusan lepas tidak menghapus gugatan perdata. Silahkan lakukan gugatan perdata, karena ada kerugian keuangan negara secara nyata," jelasnya.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang juga hadir dalam diskusi ini mengatakan walaupun Syafruddin diputus lepas, tetapi ada satu hal penting dari vonis majelis kasasi MA yaitu seluruh perbuatan terdakwa terbukti. Sayangnya, Febri enggan bicara banyak mengenai putusan ini karena hingga sekarang KPK belum menerima salinan putusan resmi dari MA.

 

Namun, Febri yakin perbuatan yang dilakukan Syafruddin bersama-sama dengan pihak lain termasuk tindak pidana (korupsi). Sebab, ada indikasi kuat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan mantan Kepala BPPN itu dan terbukti bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta, hingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

Mengenai anggapan penegak hukum tidak bisa PK, Febri enggan menanggapi lebih jauh karena satu hal tadi, belum mendapat salinan putusan resmi untuk mengetahui mengapa putusan kasasi berbeda dengan pengadilan tingkat pertama dan kedua.. "Apakah nanti akan ke perdata atau seperti yang dibilang Prof Eddy, kami belum mengambil keputusan," katanya.

Tags:

Berita Terkait