Pakar Pidana: Penegak Hukum PK Bukan Terobosan, Tapi….
Utama

Pakar Pidana: Penegak Hukum PK Bukan Terobosan, Tapi….

Ada sejumlah alasan mengapa penegak hukum tidak bisa PK, termasuk menyalahi KUHAP. KPK belum bisa berkomentar banyak mengenai pengajuan PK ini atas putusan kasasii karena hingga sekarang KPK belum menerima salinan putusan resmi dari MA.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Sejumlah pembicara dalam diskusi publik bertema 'Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin: Siapa Salah, MA atau KPK?' di Jakarta, Rabu (31/7). Foto: RES
Sejumlah pembicara dalam diskusi publik bertema 'Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin: Siapa Salah, MA atau KPK?' di Jakarta, Rabu (31/7). Foto: RES

Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang melepaskan Terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dari segala tuntutan hukum masih menjadi perdebatan menarik. Selain adanya perbedaan pendapat tiga hakim agung yang mengadili, menarik ditunggu apa langkah yang akan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas putusan ini.

 

Pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Eddy OS Hiariej berpendapat secara teoritis putusan kasasi Syafruddin lepas dari segala tuntutan hukum, berarti lepas dan tidak dijatuhi hukuman pidana (penjara). Setidaknya, ada dua kemungkinan alasan hakim kasasi menjatuhkan putusan lepas, pertama adanya alasan pembenar dan kedua alasan pemaaf.

 

Melihat kasus ini sudah tingkat kasasi, sesuai asas hukum pidana harus ada akhir atau kepastian hukum bagi seseorang yang tersangkut kasus pidana. Karena itu, penegak hukum seharusnya tidak bisa lagi mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) ke MA.  

 

“Sebelum adanya putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 (penegasan Pasal 263 KUHAP tentang pengajuan PK hanya terpidana/ahli warisnya) saya tidak pernah setuju Jaksa melakukan PK, karena PK yang dilakukan Jaksa itu bukan terobosan hukum, tetapi ‘noda hitam’ dalam sejarah penegakan hukum," ujar Eddy dalam diskusi bertajuk "Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?" di Hotel JS Luwansa Jakarta, Rabu (31/7/2019). Baca Juga: KY Masih Tunggu Salinan Putusan Lepas Syafruddin

  

Ia beralasan Pasal 266 KUHAP sudah membatasi pengajuan upaya hukum PK ke MA yang hanya ada empat kemungkinan yakni terhadap putusan bebas, putusan lepas, tidak menerima tuntutan penuntut umum, dan putusan PK harus lebih ringan dari putusan sebelumnya. "Masalahnya putusan Syafruddin ini lepas dari segala tuntutan, artinya dia tidak dipidana dan tidak ada lagi putusan yang lebih ringan dari itu," terangnya.

 

Pasal 263 KUHAP

(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

 

Dikuatkan dengan putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016.

 

Pasal 266 KUHAP

(1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya

(2)  Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;

b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:

1.   putusan bebas;

2.   putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

3.   putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

4.   putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

(3)  Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

 

Kalaupun Jaksa mengajukan PK, menurut Eddy hal itu melanggar asas putusan PK yang tidak boleh lebih tinggi dari putusan sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap. Kemudian PK merupakan hak terpidana atau keluarganya, sedangkan hak penuntut umum hanya sampai mengajukan kasasi.  

 

Eddy mengakui tidak ada larangan bagi penegak hukum mengajukan PK, tapi hal itu bukanlah alasan pengajuan karena bukan berarti yang tidak diatur itu boleh dilakukan. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pengajuan PK yaitu apakah bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum, dan atau tertib hukum.

 

"PK oleh jaksa itu bertentangan tertib hukum, karena ia ‘menjungkirbalikan’ asas hukum tadi, melanggar Pasal 266 KUHAP," tuturnya. Baca Juga: Saran Ahli ke KKP tentang Lepasnya Terdakwa

 

Sepengetahuannya hanya ada satu negara di dunia yang peraturannya memperbolehkan penegak hukum mengajukan PK yaitu di Jerman demi menemukan kebenaran materiil. Di negara tersebut, penuntut umum mengumpulkan seluruh bukti termasuk untuk meringankan, bahkan menghilangkan penuntutan kepada terdakwa. Pertanyaannya, bagaimana dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun?.

 

"Kan di UU Pemberantasan Korupsi bahwa apabila kerugian negara secara nyata, putusan bebas, putusan lepas tidak menghapus gugatan perdata. Silahkan lakukan gugatan perdata, karena ada kerugian keuangan negara secara nyata," jelasnya.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang juga hadir dalam diskusi ini mengatakan walaupun Syafruddin diputus lepas, tetapi ada satu hal penting dari vonis majelis kasasi MA yaitu seluruh perbuatan terdakwa terbukti. Sayangnya, Febri enggan bicara banyak mengenai putusan ini karena hingga sekarang KPK belum menerima salinan putusan resmi dari MA.

 

Namun, Febri yakin perbuatan yang dilakukan Syafruddin bersama-sama dengan pihak lain termasuk tindak pidana (korupsi). Sebab, ada indikasi kuat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan mantan Kepala BPPN itu dan terbukti bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta, hingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

Mengenai anggapan penegak hukum tidak bisa PK, Febri enggan menanggapi lebih jauh karena satu hal tadi, belum mendapat salinan putusan resmi untuk mengetahui mengapa putusan kasasi berbeda dengan pengadilan tingkat pertama dan kedua.. "Apakah nanti akan ke perdata atau seperti yang dibilang Prof Eddy, kami belum mengambil keputusan," katanya.

Tags:

Berita Terkait