“Permenhub No.77 mengenai ganti rugi itu tidak berlaku. Kalau Ibu dan Bapak baca, itu melaksanakan pasal-pasal dalam UU Penerbangan (yang hanya berlaku bagi penerbangan domestik,-red),” ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan langkah AirAsia yang akan segera membayarkan uang asuransi senilai sejumlah uang yang disebutkan dalam Permenhub? Martono menilai itu silahkan saja. “Kalau mau bayar Rp1,3 Miliar, ya boleh saja. Siapa yang larang? Tapi, tak ada dasar hukumnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Martono menjelaskan dalam praktik sehari-hari selalu berbeda dengan hukum yang berlaku. Ia mencontohkan maskapai penerbangan Lion Air yang memberikan Rp300 juta kepada penumpangnya ketika mengalami kecelakaan. Maskapai penerbangan Mandala juga memberikan dengan jumlah berbeda.
Sedangkan, UU No.2 Tahun 1992 tentang Pengasuransian berlaku hanya bagi penumpang yang membeli asuransi itu secara sukarela.
Konvensi Warsawa
Martono menjelaskan karena pesawat AirAsia QZ 8501 masuk ke dalam rezim hukum penerbangan internasional, maka yang berlaku adalah sejumlah konvensi yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Khusus ganti rugi kecelakaan, ada Konvensi Warsawa yang mengatur hal itu.
“Sayangnya, Konvensi Warsawa tidak mewajibkan maskapai penerbangan untuk mengasuransikan penumpang,” ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan nasib para korban?
Martono menjelaskan walau Konvensi Warsawa tidak mewajibkan asuransi, tetapi pada prakteknya sejumlah maskapai penerbangan tetap mengasuransikan penumpang. “Ini karena resikonya besar. Perusahaan akan bangkrut kalau nggak menggunakan asuransi,” ujarnya.