Over Kapasitas Lapas Seperti Penyakit yang Sulit Disembuhkan
Utama

Over Kapasitas Lapas Seperti Penyakit yang Sulit Disembuhkan

Mekanisme penahanan di hulu perlu diperbaiki. Mulai dari mekanisme kontrol, izin, komplain penahanan hingga perubahan regulasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Kiri ke Kanan, Supriyadi W Eddyono, Ifdal Kasim, Luhut M.P Pangaribuan dan Putri Kanesia di diskusi Sistem Penahanan di Indonesia, Rabu (11/11). Foto: RES
Kiri ke Kanan, Supriyadi W Eddyono, Ifdal Kasim, Luhut M.P Pangaribuan dan Putri Kanesia di diskusi Sistem Penahanan di Indonesia, Rabu (11/11). Foto: RES

Persoalan over kapasitas penghuni di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) belum menemui jalan keluar. Ironisnya, penahanan terhadap tersangka dengan mudahnya diberlakukan tanpa mempertimbangkan kapasitas ruang tahanan. Hal itu pula yang menyebabkan negara kian terbebani anggaran di bidang pemasyarakatan. Jika tidak segera ditanggulangi, masalah penahanan seperti penyakit diabetes yang akan menggerogoti bagian tubuh lainnya.

Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Luhut Manihot Parulian (MP) Pangaribuan, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (11/11). “Konkritnya, konsep pelaksanaan penahanan itu sudah seperti penyakit diabetes. Penyakit diabet itu induk dan bisa menyerang semua yang ada di tubuh kita. Tetapi ini tidak pernah disadari supaya tidak menyerang yang lain. Over kapasitas ini belum disadari  oleh Rutan dan Lapas,” ujarnya.

Masalah pemasyarakatan, khususnya penahanan merupakan hulu yang mesti dibenahi. Sebab jika tidak, bakal menjadi penyakit yang berujung komplikasi. Sayangnya, indikasi itu sudah mulai terlihat. Misalnya, perlakuan penahanan oleh pihak penyidik sudah diberlakukan di tingkat penyidikan sebelum proses peradilan. Hal itu dipandang Luhut sudah seperti gejala penyakit diabetes.

Meski penahanan dapat diberlakukan dalam proses penyidikan, namun perlu dipertimbangkan persyaratan yang tidak melulu subyektif. Namun penyidik perlu mengedepankan persyaratan dan alasan obyektif. Misalnya, ketika di tingkat penyidikan proses pemeriksaan menghendaki dilakukan penahanan, maka penyidik dapat melakukan penahanan sepanjang adanya alasan obyektif.

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu menilai, penahanan yang acapkali dilakukan penyidik terhadap seorang tersangka selama 20 hari itu mesti dapat dipertanggungjawabkan setiap hari. Misalnya, di hari pertama mesti dipertanggungjawabkan pemeriksaan apa saja yang dilakukan penyidik terhadap tersangka, begitu seterusnya.

“Kalau penahanan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan maka penahanan itu untuk kepentingan lain,” ujarnya.

Advokat senior itu menilai alasan subyektif hanyalah klise. Misalnya, khawatir mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, hingga melarikan diri sejatinya dapat diatasi penyidik dengan tanpa melakukan penahanan. Penahanan yang diterapkan di Indonesia malah dengan mudahnya diberlakukan penyidik. Akibatnya, di hilir yakni Rutan dan Lapas kerap mengalami over kapasitas.

Tags:

Berita Terkait