Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan
Fokus

Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan

Berbagai kasus yang muncul belakangan menimbulkan kesan keadilan hanya bagi pemilik modal. Hukum seolah barang komoditas yang bisa dibeli. Elegi keadilan terbentuk.

ihw
Bacaan 2 Menit

Menurut Bedner, setidaknya ada tiga jenis hambatan yang kerap terjadi dalam upaya memperjuangkan akses terhadap keadilan. Pertama, berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang relatif terbatas atas hak-hak mereka yang dijamin hukum. Dalam kasus Aseng di atas misalnya. Bila sedari awal Aseng diberitahu apa saja hak-haknya sebagai konsumen, bisa dipastikan Aseng tak akan membeli kios itu.

Hambatan kedua dalam memperjuangkan akses terhadap keadilan muncul dari relasi kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan dapat dengan mudah menghambat pengaduan atau tuntutan dari pencari keadilan. Bahkan mereka ini juga sangat mungkin melakukan pembangkangan hukum. Ini misalnya terlihat dalam kasus susu formula dan GKI Yasmin.

Terakhir, isu yang menjadi penghambat akses terhadap keadilan adalah ketidakpastian hukum itu sendiri. Menurut Bedner, ketidakpastian hukum yang diciptakan oleh sifat kabur dan kontradiktif dari sejumlah undang-undang penting atau perbedaan penafsiran antara pemerintah atau pengadilan dengan kepentingan masyarakat umum. Lihat misalnya kasus Viddi dengan SPBM-nya di atas dimana pengadilan menyatakan buruh tak boleh berdemonstrasi untuk memperjuangkan haknya. Sementara undang-undang yang mengatur tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum tak melarang hal itu.

Penguatan Akses

Pasca reformasi, masih menurut Bedner, pembangunan negara hukum difokuskan pada pembenahan dan penguatan lembaga penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. “Uang dalam jumlah besar dialirkan untuk program pelatihan para hakim, peningkatan kapasitas pembuat undang-undang, penanganan korupsi dalam tubuh kepolisian, peningkatan efisiensi dan transparansi di pengadilan dan sebagainya.”

Belakangan banyak kalangan yang menilai pembenahan yang bersifat ‘dari atas ke bawah’ tersebut ternyata tak efektif untuk meningkatkan akses terhadap keadilan. Buktinya, ya kasus Viddi, Aseng, buruh Onamba, kasus susu dan GKI Yasmin di atas.

Setelah itu, di tingkat internasional, muncul pendekatan ‘dari bawah ke atas’ dalam hal reformasi hukum. Di Indonesia, program dengan tajuk ‘Keadilan bagi Kaum Miskin’ (Justice for the poor) yang dimotori Bank Dunia diluncurkan. Hampir bersamaan, UNDP mulai melakukan program LEAD pada 2007. Bappenas pada 2009 juga meluncurkan Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan yang kemudian diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.

Untuk memperluas akses atas bantuan hukum, di penghujung tahun 2011 pemerintah dan DPR menyetujui RUU Bantuan Hukum yang kemudian diundangkan menjadi UU No 16 Tahun 2011. Sayangnya, menurut LBH Jakarta, UU ini tidak mengacu pada Strategi Nasional. Secara sederhana UU itu ditujukan bagi masyarakat yang miskin secara ekonomi. Sementara Strategi Nasional menyebutkan kelompok lain yang harus dipertimbangkan. Misalnya kelompok dengan perlakuan khusus-termasuk di dalamnya perempuan, anak, penyandang disabilitas, LGBT, masyarakat adat, dan mereka yang buta hukum.

Terlepas dari itu, menurut Bedner, perkembangan terakhir menunjukkan ada perluasan minat atas inisiatif akses terhadap keadilan. Yaitu adanya peningkatan pendanaan dari luar negeri, pemerintah meningkatkan upaya-upayanya dan perhatian media terhadap kegagalan sistem hukum telah menciptakan tekanan publik. Untuk yang terakhir disebut, kasus ‘sandal jepit’ cocok untuk menggambarkan situasi aktual dimana penegakan hukum akhirnya benar-benar menjadi pisau dapur yang tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah.

Ke depan Bedner mengatakan masih banyak yang dibutuhkan untuk memperluas akses terhadap keadilan. Penyebabnya adalah masih terbatasnya jangkauan program bantuan hukum, pembuatan kebijakan tentang akses keadilan yang belum berimbas di tingkat lokal. “Dan, terlepas dari adanya tekanan publik, hanya ada sedikit indikasi bahwa polisi, kejaksaan dan lembaga peradilan meningkatkan kinerja mereka.”

Apapun hambatannya, yang pasti upaya penguatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat merupakan langkah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab, penegakan prinsip keadilan adalah salah satu ciri dari negara hukum. Itupun bila negara ini masih mau mengaku sebagai negara hukum.

Tags:

Berita Terkait