Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan
Fokus

Orang Miskin Dilarang Mencari Keadilan

Berbagai kasus yang muncul belakangan menimbulkan kesan keadilan hanya bagi pemilik modal. Hukum seolah barang komoditas yang bisa dibeli. Elegi keadilan terbentuk.

ihw
Bacaan 2 Menit

Kasus lain yang tak kalah menyayat rasa keadilan adalah peristiwa tertangkap tangannya hakim adhoc PHI Bandung Imas Dianasari yang sedang menerima suap dari Manajer HRD PT Onamba Indonesia, Odih Juanda, Juni 2011 lalu. Suap itu digunakan untuk memenangkan gugatan PT Onamba di tingkat kasasi. Sebelumnya, Imas telah memenangkan Onamba di PHI Bandung dengan imbalan uang tertentu.

Onamba mengajukan gugatan PHK atas ratusan pekerjanya yang melakukan mogok kerja. Padahal para pekerja itu mogok menuntut empat hal yang sudah disepakati dalam perjanjian kerja bersama (PKB) namun tak dilaksanakan oleh manajemen Onamba. Salah satunya adalah penyediaan bus antar-jemput karyawan. PHI Bandung akhirnya mengabulkan PHK tanpa pesangon sepeser pun. Bahkan hakim menghukum para pekerja membayar biaya perkara hingga puluhan juta rupiah.

Sulitnya mencari keadilan tak hanya dialami mereka yang lemah secara ekonomi maupun struktur sosial seperti kasus Viddi dengan SPBM, Aseng dan para buruh Onamba seperti di atas. Tapi juga bagi mereka yang berhadapan dengan struktur kekuasaan. Hal ini yang dirasakan David M.L Tobing, seorang advokat kala menggugat Departemen Kesehatan, Institut Pertanian Bogor dan BPOM terkait susu formula berbakteri yang sempat heboh di masyarakat beberapa waktu lalu.

Sejauh ini Depkes, IPB dan BPOM masih membangkang atas putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan mereka bertiga mengumumkan daftar nama susu formula yang tercemar bakteri.

LBH Jakarta dalam catatan akhir tahunnya bahkan sampai menyebut tahun 2011 adalah tahun pembangkangan negara terhadap hukum. Selain kasus susu formula berbakteri, LBH Jakarta juga mencatat pembangkangan Wali Kota Bogor dalam kasus izin mendirikan bangunan GKI Yasmin.   

Hambatan

Dosen senior Universitas Leiden Belanda, Adriaan Bedner yang banyak melakukan riset tentang akses terhadap keadilan di Indonesia menyebutkan, dalam konteks sistem peradilan yang relatif sulit diakses dan penuh penyelewengan, ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat, kemudian mudah sekali diterjemahkan sebagai ketidaksetaraan kapasitas untuk mengkalim hak-hak seseorang.

Benar menurut hukum, lanjut Bedner, tidaklah cukup. “Masih diperlukan kapasitas dan faktor lainnya, antara lain, koneksi yang baik (backing), uang, kesadaran hukum, pengetahuan tentang prosedur di kepolisian dan pengadilan dan kapasitas untuk memobilisasi orang,” kata Bedner dalam tulisan pengantarnya di buku Akses Terhadap Keadilan.

Tags:

Berita Terkait