Obama dan Hukum Internasional
Oleh: Iman Prihandono, S.H., MH., LL.M *)

Obama dan Hukum Internasional

Kemenangan Barack Hussein Obama Jr., dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 4 Nopember lalu mendapatkan sambutan hangat. Masyarakat dunia percaya bahwa Obama akan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri AS yang selama pemerintahan Bush dianggap banyak menanam permusuhan.

Bacaan 2 Menit
Obama dan Hukum Internasional
Hukumonline

 

Bagaimanakah posisi Amerika Serikat terhadap isu ini? Pernyataan resmi dari Bureau of Public Affairs di tahun 2005 menyebutkan bahwa:

 

The United States is open to UN Security Council reform and expansion, as one element of an overall agenda for UN reform. We advocate a criteria-based approach under which potential members must be supremely well qualified, based on factors such as: economic size, population, military capacity, commitment to democracy and human rights, financial contributions to the UN, contributions to UN peacekeeping, and record on counterterrorism and nonproliferation. We have to look, of course, at the overall geographic balance of the Council, but effectiveness remains the benchmark for any reform.

 

Dengan begitu banyaknya syarat yang diajukan oleh Amerika Serikat di atas, nampaknya upaya perluasan keanggotaan DK PBB masih jauh api dari panggang. Akan sulit mencari negara-negara yang memenuhi standar sesuai dengan syarat di atas, terlebih lagi tercapainya kondisi effectiveness sebagai syarat reformasi terkesan sangat subyektif dan sepihak. Setidaknya,  politik luar negeri Presiden Obama yang kabarnya akan mengedepankan dialog dan negosiasi ini akan dapat mengurangi politik sepihak Amerika Serikat sehingga jalan menuju reformasi DK PBB yang lebih demokratis menjadi lebih lapang. 

 

Mengenai isu kedua, Obama berada pada posisi yang sulit. Sebagai negara industri, Amerika Serikat termasuk negara penyumbang emisi gas rumah kaca yang terbesar. Para pengusaha dan industrialis di Amerika Serikat khawatir bila harus menurunkan kapasitas produksinya akibat adanya ketentuan emmisions trading sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dalam Protokol Kyoto. Ditambah lagi, agar dapat keluar dari krisis finasial yang menghantam Amerika Serikat saat ini, dibutuhkan peningkatan produksi industri dan bukan sebaliknya. Faktor lainnya adalah desakan dari pendukung, Dewi Fortuna Anwar dalam tulisannya di Kompas (3/11/08) menyebutkan bahwa salah satu basis pendukung utama Partai Demokrat – partai yang mencalonkan Obama – adalah dari kalangan serikat buruh yang kritis terhadap kebijakan ekonomi nasional menyangkut ketersediaan lapangan pekerjaan. Keadaan-keadaan ini membuat jalan menuju ratifikasi Protokol Kyoto oleh Amerika Serikat semakin sulit. Lalu bagaimanakah posisi Obama sendiri mengenai isu ini?

 

Dalam kampanyenya tentang energy plan, Obama lebih memilih untuk memperkuat kebijakan domestik dalam memerangi perubahan iklim global. Kebijakan ini termasuk membuat domestic cap-and-trade program dan meningkatkan investasi yang menggunakan clean energy. Dalam kampanye ini pula - ketimbang menyinggung tentang kemungkinan ratifikasi oleh Amerika Serikat dan penguatan pelaksanaan Protokol Kyoto - Obama mengusulkan cara lain dalam mengatasi pemanasan global, yaitu melalui multiple forums to negotiate effective climate agreements. Nampak jelas bahwa Obama merasa yakin Protokol Kyoto tidak dapat diandalkan sebagai sebuah komitmen internasional dalam mengatasi krisis pemanasan global, sehingga sebagai presiden nanti ia merasa perlu untuk memulai negosiasi guna merancang sebuah perjanjian baru.

 

Isu ketiga yaitu tentang penegakan HAM menjadi penting bagi Amerika Serikat sejak terkuaknya berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap tahanan di penjara Guantanamo Bay. Oleh banyak pengamat, penarikan tandatangan pada Statuta ICC oleh Presiden Bush, dianggap sebagai langkah Amerika Serikat untuk menghindari penyelidikan dan yurisdiksi ICC. Bagaimana sikap Obama? Menjawab pertanyaan tentang apakah Amerika Serikat harus meratifikasi Statuta ICC pada sebuah questioner yang diajukan kepada kandidat presiden, Obama menyatakan bahwa: Yes. The United States should cooperate with ICC investigations in a way that reflects American sovereignty and promotes our national security interests.

 

Bila diamati, jawaban Obama di atas nampak sebagai jawaban khas seorang politisi yang diplomatis. Namun secara hukum, keikutsertaan negara ke dalam sebuah perjanjian internasional berarti pula menyerahkan sebagian dari kedaulatannya. Sehingga, tentu saja ratifikasi akan sulit terwujud bila Obama masih mengedepankan aspek sovereignty dan national security interests sebagai syarat utama.

 

Ketentuan dalam konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional semakin memperkuat keraguan akan keterlibatan Amerika Serikat kedalam Statuta ICC. Pasal 27 Konvensi ini mengatur bahwa sebuah negara tidak dapat menggunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalih untuk menghindar dari kewajibannya dalam sebuah perjanjian internasional. Artinya, bila Obama masih mengedepankan isu sovereignty dan national security interests maka penerimaan Amerika Serikat terhadap yurisdiksi ICC mungkin masih akan jauh dari kenyataan.

 

Dari ketiga isu mendesak dalam hukum internasional di atas, nampaknya hanya isu tentang perluasan keanggotaan DK PBB saja yang masih mungkin untuk dapat kembali didorong oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Obama. Sedangkan penerimaan Amerika Serkat kepada yurisdiksi ICC bukannya mustahil, namun nampaknya masih akan sulit diwujudkan bila Obama dan stafnya belum merubah paradigma lama tentang kedaulatan negara dan kepentingan nasional. Terakhir, keterlibatan Amerika Serikat dalam upaya pengurangan efek pemanasan global melalui Protokol Kyoto nampaknya akan mustahil bila menimbang energy plan Obama diatas.

 

Bila politik luar negeri Obama yang lebih menekankan multilateralism dan diplomasi melalui dialog dan negosiasi ini tidak banyak berpengaruh pada isu-isu hukum diatas, harapannya setidaknya perubahan ini dapat memberikan efek positif dalam meredam ketegangan antar negara dan bermanfaat terhadap terwujudnya kesepakatan-kesepakatan perdamaian baru. Semoga saja.

 

------

*) Penulis adalah Dosen pada Departemen Hukum Internasional - Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Email: [email protected]

A. Jafar M. Sidik, dalam tulisannya di Antaranews (6/11/08) mengutip bahwa Obama akan lebih menekankan multilateralism dan diplomasi. Ini berarti politik luar negeri Obama akan lebih mengutamakan dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan permasalahan antar negara. Namun apakah kebijakan politik ini mampu memberikan pengaruh positif terhadap posisi Amerika Serikat untuk mendorong isu-isu penting dalam hukum internasional?

 

Beberapa di antara agenda mendesak dalam perkembangan hukum internasional dimana peran Amerika Serikat sangat krusial adalah isu tentang reformasi di Dewan Keamanan PBB. Selain itu, upaya menekan efek pemanasan global melalui Protokol Kyoto dan penegakan hak asasi manusia melalui penguatan peran International Criminal Court (ICC).

 

Isu reformasi dalam tubuh DK PBB sebenarnya bukan hal baru dan telah digulirkan pada sekitar awal 1990-an menyusul runtuhnya Uni Soviet. Namun sampai saat ini belum ada langkah signifikan dari negara-negara pemegang hak veto untuk merealisasikan perubahan yaitu agar komposisi dalam DK PBB lebih seimbang. Sedangkan untuk dua isu yang terakhir, sampai saat ini Amerika Serikat belum meratifikasi Protokol Kyoto dan Statuta Roma tentang pembentukan ICC.

 

Pada isu yang pertama, tuntutan agar DK PBB lebih demokratis semakin mengerucut pada tahun 2005 saat Kofi Annan Sekjen PBB ketika itu mengusulkan ide in larger freedom dengan menambah jumlah anggota DK PBB menjadi 24 negara.

 

Mengapa posisi Amerika Serikat menjadi penting pada isu ini? Sebagai negara pemenang perang dan paling berpengaruh dalam proses pembentukan sistem hukum Perserikatan Bangsa-bangsa di tahun 1945, maka peran Amerika Serikat menjadi penting pula dalam setiap upaya perubahannya. Hal ini terbukti pada peran penting Amerika Serikat dalam proses amandemen Pasal 23 Piagam PBB yang menambah anggota DK PBB dari 7 menjadi 15 negara di tahun 1963. Posisi penting ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 108 Piagam PBB yang mensyaratkan bahwa amandemen terhadap Piagam ini hanya akan sah bila duapertiga anggota Majelis Umum menyetujuinya dan diratifikasi oleh duapertiga negara anggota PBB termasuk oleh seluruh negara anggota permanen DK PBB – dimana Amerika Serikat termasuk salah satunya.

Tags: