NKRI dan Yogyakarta Terikat Perjanjian
Utama

NKRI dan Yogyakarta Terikat Perjanjian

Status istimewa diibaratkan sebagai mahar atau mas kawin ketika Yogyakarta menyatakan bergabung kepada NKRI.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit

 

Dalam persepektif hukum internasional, lanjut Sri Sultan, perjanjian dua negara ini biasa dikenal sebagai bilateral treaty. Menurutnya, perjanjian ini terikat pada asas-asas hukum perjanjian, yakni asas pacta sunt servanda. “Asas ini menyatakan setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan tersebut,” jelasnya.

 

Penjelasan ini disampaikan untuk menjawab polemik seputar pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang berkembang selama ini dalam pembahasan RUU Yogyakarta. Apakah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta otomatis jatah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam atau harus melalui pemilihan kepala daerah yang digelar secara demokratis.

 

Anggota DPD I Wayan Sudirta mempertanyakan perasaan Sri Sultan bila Pemerintah dan DPR memaksakan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. “Bila mengacu ke perjanjian-perjanjian itu, Apakah Kesultanan Yogyakarta merasa dikhianti bila undang-undang ini kelak mengatur tata cara pemilihan, bukan penetapan?” tanyanya.

 

Anggota Komisi II DPR Harun Al Rasyid menilai masih banyak perbedaan pendapat seputar keistimewaan Yogyakarta yang menetapkan Sri Sultan otomatis menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta. “Ada yang berpendapat penetapan hanya berlaku untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX (yang menyatakan bergabung dengan NKRI,-red). Jadi, penetapan hanya melekat kepada beliau,” tuturnya.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono X hanya berharap bila RUU Yogyakarta ini disusun berdasarkan pandangan filsafat hukum secara utuh. Yakni, dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan budaya Yogyakarta yang ingin bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.

 

Tags: