NKRI dan Yogyakarta Terikat Perjanjian
Utama

NKRI dan Yogyakarta Terikat Perjanjian

Status istimewa diibaratkan sebagai mahar atau mas kawin ketika Yogyakarta menyatakan bergabung kepada NKRI.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Sri Sultan Hamengku Buwono saat memberikan keterangan terkait<br>RUU DIY di Komisi II DPR. Foto: Sgp
Sri Sultan Hamengku Buwono saat memberikan keterangan terkait<br>RUU DIY di Komisi II DPR. Foto: Sgp

 

Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX menyambangi Gedung DPR. Dua raja jawa ini hadir untuk memberikan keterangan dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU DIY). Sri Sultan memaparkan pandangannya mengenai RUU yang kelak akan mengatur masyarakat dan wilayahnya itu.


Salah satu yang menjadi sorotan Sri Sultan adalah sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Yogyakarta. Ia menegaskan bahwa sejak zaman Hindia Belanda, posisi Negeri Ngayogyarta (Yogyakarta), sudah mendapat pengakuan dari Pemerintah dan Ratu Belanda. Rujukannya adalah Perjanjian Giyanti.

 

Begitu pun sejak masa penjajahan Belanda di bumi nusantara berakhir, dan kemudian digantikan oleh Jepang. “Pengakuan terhadap negeri Ngayogyakarta sudah ada sejak masa penjajahan,” ujarnya di Ruang Rapat Komisi II DPR, di Jakarta, Selasa (1/3).

 

Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), posisi Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman berada di persimpangan jalan. Antara bergabung dengan NKRI atau membuat negara sendiri yang berdaulat. “Kala itu, sebenarnya Ngayogyakarta secara sistem pemerintahan sudah bisa membuat negara sendiri,” ujarnya.

 

Namun, lanjut Sri Sultan, ayahnya –Sri Sultan Hamengku Buwono IX- dan Sri Paku Alam VIII memutuskan bergabung dengan NKRI. Pada 18 Agustus 1945, Sri Sultan mengirim surat kawat ke Soekarno yang menegaskan sikap politiknya itu. Lalu, sehari kemudian, Soekarno memberikan piagam penghargaan kepada Yogyakarta sebagai daerah istimewa setingkat provinsi.

 

“Pemberian keistimewaan ini ditegaskan kembali melalui Amanat 5 September 1945,” jelas Sri Sultan.


Sri Sultan mengatakan piagam dan amanat itu merupakan bukti bahwa adanya dua negara yang bergabung menjadi satu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman. “Analogi penggabungan dua negara ini ada yang menyebutkan dengan istilah ijab kabul,” jelasnya.

 

Artinya, ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak lain yang menerima. Ngayogyakarta menyerahkan kedaulatannya dan bergabung menjadi bagian dari NKRI dan NKRI menerima penyerahan itu. “Selanjutnya diberikan mahar atau mas kawin sebagai daerah setingkat provinsi yang istimewa,” jelasnya. 

 

Dalam persepektif hukum internasional, lanjut Sri Sultan, perjanjian dua negara ini biasa dikenal sebagai bilateral treaty. Menurutnya, perjanjian ini terikat pada asas-asas hukum perjanjian, yakni asas pacta sunt servanda. “Asas ini menyatakan setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan tersebut,” jelasnya.

 

Penjelasan ini disampaikan untuk menjawab polemik seputar pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang berkembang selama ini dalam pembahasan RUU Yogyakarta. Apakah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta otomatis jatah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam atau harus melalui pemilihan kepala daerah yang digelar secara demokratis.

 

Anggota DPD I Wayan Sudirta mempertanyakan perasaan Sri Sultan bila Pemerintah dan DPR memaksakan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. “Bila mengacu ke perjanjian-perjanjian itu, Apakah Kesultanan Yogyakarta merasa dikhianti bila undang-undang ini kelak mengatur tata cara pemilihan, bukan penetapan?” tanyanya.

 

Anggota Komisi II DPR Harun Al Rasyid menilai masih banyak perbedaan pendapat seputar keistimewaan Yogyakarta yang menetapkan Sri Sultan otomatis menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta. “Ada yang berpendapat penetapan hanya berlaku untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX (yang menyatakan bergabung dengan NKRI,-red). Jadi, penetapan hanya melekat kepada beliau,” tuturnya.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono X hanya berharap bila RUU Yogyakarta ini disusun berdasarkan pandangan filsafat hukum secara utuh. Yakni, dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan budaya Yogyakarta yang ingin bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.

 

Tags: