Nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Beranjak Maju
Terbaru

Nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Beranjak Maju

Surpres beserta lampiran draf RUU dan surat penunjukan wakil pemerintah yang bakal membahas bersama DPR sudah dilayangkan ke parlemen.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Dia mengaku belum memiliki gambaran besar terkait mekanisme perampasan aset ke depannya. Pasalnya pemerintah dan DPR masih mencari formula maupun jalan tengah atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Boleh dibilang, draf RUU yang disodorkan pemerintah nantinya bakal dibahas mendalam bersama DPR. Makanya pemerintah belum dapat menentukan mekanisme baku dalam perampasan aset tindak pidana.


“Pemerintah maunya A, DPR maunya B kan harus ada diskusi supaya ada titik temu,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti Azmi Syahputra, keberadaan UU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi mendesak disaat tingginya angka korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Ya, indikatornya dengan adanya kecurangan, memperdagangkan pengaruh, termasuk penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara.

Khususnya praktik tindak pidana pencucian uang yang dilakuukan oleh penyelenggara negara mesti dimaknai sebagai kejahatan yang serius (the most serious crime) dalam mencegah dan memberantas optimal kejahatan. “Maka menjadi jadi urgensi keberadaan  UU Perampasan Aset, sebab perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal dalam mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun kejahatan,” ujarnya kepada hukumonline.

Melekat pada kebendaanya

Dia menilai, mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada (kebendaannya) bukan pada orang (in personam). Termasuk tidak dilakukan dengan cara konvensional, melainkan melalui sistem pembalikan beban pembuktian untuk mengembalikan aset negara dan menyita aset yang terkait dengan kejahatan.

Dengan demikian, sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya  melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya termasuk meninggal dunia benda hasil kejahatannya dapat disita. Praktik korupsi maupun trend modus pencucian uang yang dilakukan penyelengara negara bekerja sama dengan pihak lain dapat dimaknai negaralah  sebagai korban(victim state).

“Sehingga negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi atau para pelaku pencucian uang tersebut yang hasilnya berhubungan dari suatu persekongkolan kejahatan,” katanya.

Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu menilai, melalui UU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat dimaknai sebagai wujud ‘berikanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara’. Dengan begitu, Indonesia sebagai wujud penerapan negara hukum tak lagi ada tempat bagi pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi. Serta tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset- aset hasil kejahatan.

Baginya, keberadaan UU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi urgen sekaligus perwujudan nayata dalam mewujudkan kebijakan legislasi. Bahkan teroperasionalnya lebih luas kerjasama antara penegak hukum dengan segala lapisan unsur masyarakat sebagaimana amanat Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Di mana masyarakat dapat berperan  maksimal guna membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi termasuk pencucian uang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait