Nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Beranjak Maju
Terbaru

Nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Beranjak Maju

Surpres beserta lampiran draf RUU dan surat penunjukan wakil pemerintah yang bakal membahas bersama DPR sudah dilayangkan ke parlemen.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Menkopolhkam Moh Mahfud MD.Foto: RES
Menkopolhkam Moh Mahfud MD.Foto: RES

Setelah sekian lama melalui perjalanan panjang, polemik nasib keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana akhirnya menemui titik terang dan beranjak maju. Presiden telah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) beserta surat penugasan pihak yang bakal mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU dengan DPR pada masa persidangan mendatang.

“Pemerintah per tanggal 4 Mei Tahun 2023, Presiden sudah mengeluarkan dua surat,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MMD kepada wartawan di Gedung Kemenkopolhukam, Jumat (5/5/2023) kemarin.

Kedua surat tersebut menurut Mahfud Surpres bernomor R-22/Pres/05/2023 beserta lampiran RUU Perampasan  Aset Tindak Pidana telah disodorkan ke DPR. Kemudian surat penugasan bernomor B399-M—D-HK-0000-05-2023 perihal penunjukan pejabat menteri dan setingkat menteri yang mewakili pemerintah membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bersama DPR. Setidaknya ada 4 orang pejabat negara. Yakni Menkopolhkam, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Jaksa Agung dan Kapolri.

Berdasarkan surat tugas tersebut, keempat pejabat negara yang ditunjuk agar bersungguh-sungguh bersama DPR membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana  secara teliti dan mengedepankan asas kehati-hatian. Dengan adanya dua surat tersebut, perdebatan RUU Aset Tindak Pidana sudah beranjak maju dengan presiden menerbitkan dua surat tersebut

“Mudah-mudahan persidangan mendatang sudah bisa dibahas agar kita bisa membuat para pelaku tindak pidana terutama koruptor itu kan takutnya miskin, kalau ada UU Perampasan aset ini Insya Allah,” ujarnya.

Baca juga:

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Syarif Hiariej menambahkan, DPR masih dalam masa reses. Agendanya, DPR bakal masuk kembali pada Selasa (16/5/2023) pekan depan. Dia berharap RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera dibahas bersama pemerintah pasca anggota dewan mulai masuk kembali di parlemen.

Dia mengaku belum memiliki gambaran besar terkait mekanisme perampasan aset ke depannya. Pasalnya pemerintah dan DPR masih mencari formula maupun jalan tengah atas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Boleh dibilang, draf RUU yang disodorkan pemerintah nantinya bakal dibahas mendalam bersama DPR. Makanya pemerintah belum dapat menentukan mekanisme baku dalam perampasan aset tindak pidana.


“Pemerintah maunya A, DPR maunya B kan harus ada diskusi supaya ada titik temu,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti Azmi Syahputra, keberadaan UU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi mendesak disaat tingginya angka korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Ya, indikatornya dengan adanya kecurangan, memperdagangkan pengaruh, termasuk penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara.

Khususnya praktik tindak pidana pencucian uang yang dilakuukan oleh penyelenggara negara mesti dimaknai sebagai kejahatan yang serius (the most serious crime) dalam mencegah dan memberantas optimal kejahatan. “Maka menjadi jadi urgensi keberadaan  UU Perampasan Aset, sebab perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal dalam mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun kejahatan,” ujarnya kepada hukumonline.

Melekat pada kebendaanya

Dia menilai, mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada (kebendaannya) bukan pada orang (in personam). Termasuk tidak dilakukan dengan cara konvensional, melainkan melalui sistem pembalikan beban pembuktian untuk mengembalikan aset negara dan menyita aset yang terkait dengan kejahatan.

Dengan demikian, sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya  melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya termasuk meninggal dunia benda hasil kejahatannya dapat disita. Praktik korupsi maupun trend modus pencucian uang yang dilakukan penyelengara negara bekerja sama dengan pihak lain dapat dimaknai negaralah  sebagai korban(victim state).

“Sehingga negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi atau para pelaku pencucian uang tersebut yang hasilnya berhubungan dari suatu persekongkolan kejahatan,” katanya.

Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu menilai, melalui UU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat dimaknai sebagai wujud ‘berikanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara’. Dengan begitu, Indonesia sebagai wujud penerapan negara hukum tak lagi ada tempat bagi pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi. Serta tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset- aset hasil kejahatan.

Baginya, keberadaan UU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi urgen sekaligus perwujudan nayata dalam mewujudkan kebijakan legislasi. Bahkan teroperasionalnya lebih luas kerjasama antara penegak hukum dengan segala lapisan unsur masyarakat sebagaimana amanat Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Di mana masyarakat dapat berperan  maksimal guna membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi termasuk pencucian uang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait