Mulai Keilmuan Hingga Keseriusan Pembahasan RKUHP Dipertanyakan
Utama

Mulai Keilmuan Hingga Keseriusan Pembahasan RKUHP Dipertanyakan

Salah anggota Panja berharap Panja DPR dan pemerintah meninjau ulang pembahasan RKUHP dengan menyerap aspirasi masyarakat terutama dari pegiat hukum pidana.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Anggota Panja RKUHP Muhammad Nasir Djamil mengakui kualifikasi soal keilmuan hukum anggota dan kehadiran dalam rapat pembahasan RKUHP menjadi persoalan. Karena itu, secara pribadi Nasir meminta agar RKUHP tidak terburu-buru disahkan DPR. Alasannya, masih banyak pasal bermasalah yang mesti dikaji terlebih dahulu. Hal ini agar nantinya KUHP tidak dengan mudah dilakukan revisi setiap tahunnya.

 

“Maklum, jumlah pasal yang terdapat RKUHP sekitar 700-an. Ada yang bilang ini karya agung, tetapi pembahasannya tidak agung,” akunya.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap Panja DPR dan pemerintah meninjau ulang pembahasan RKUHP dengan menyerap aspirasi masyarakat, terutama dari pegiat hukum pidana yang perlu ditelaah. Belum lagi, kerja-kerja Panja RKUHP belum optimal lantaran sebagian anggotanya tidak hadir dalam pembahasan dengan alasan memiliki tugas lain seperti kunjungan ke daerah, sehingga berdampak kualitas pembahasan RKUHP menurun.

 

“Karena itu, kita perlu keseriusan pembahasan, jangan sampai tiba-tiba hasilnya tidak seperti yang kita harapkan. Semoga DPR tidak diburu waktu bisa memperbaiki norma-norma dalam RKUHP,” katanya.

 

Penghinaan presiden bermasalah

Pakar  hukum tata negara dari Universitas Chaerun Ternate, Margarito Kamis menyoroti soal larangan mengkritik atau menghina presiden. Menurutnya, belakangan masyarakat diarahkan untuk melakukan feodalisasi oleh negara secara sistematik. Misalnya, dalam UU No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengatur larangan mengkritik DPR. Bahkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat melaporkan dan menuntut warga masyarakat.

 

“Dan ini di RKUHP sekarang presiden juga tidak boleh dihina. Kita sepertinya sudah mengundang (sistem) tirani. Ini nggak masuk akal,” ujarnya.

 

Munculnya pasal penghinaan presiden dalam RKUHP, kata Margarito, seperti mengundang monster besar secara sadar. Padahal, kebebasan berpendapat dan mengkritik sudah diupayakan dengan segala cara sejak di era Orde Baru. Bila kebebasan berpendapat dan mengkritik kepala pemerintahan sepanjang membangun dilarang, sama halnya mengabaikan atau membatasi kebebasan berpikir.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait