MK Ubah Tiga Prosedur Pencoblosan dalam Pemilu 2019
Berita

MK Ubah Tiga Prosedur Pencoblosan dalam Pemilu 2019

Surat perekaman e-KTP (surat keterangan/suket) bisa untuk memilih di TPS/TPSLN; penyusunan DPTb bisa dilengkapi 7 hari sebelum pemungutan suara dalam kondisi tertentu; dan penghitungan suara di TPS/TPSLN bisa diperpanjang maksimal 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara (pukul 24.00).

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Mahkamah tidak mengubah pendiriannya seperti putusan-putusan sebelumnya. Putusan MK sebelumnya memang memperbolehkan warga negara menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih jika tidak terdaftar dalam DPT. Namun mesti diingat, data kependudukan saat itu belum terintegrasi. Sementara sekarang situasinya berbeda. Integrasi data kependuukan telah dilakukan, sehingga alasan menggunakan identitas lain di luar e-KTP menjadi kehilangan pijakan dan bermuara pada legitimasi pemilu.  

 

Terkait batas waktu pindah dan menjadi Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), MK memutuskan adanya pengecualian bagi pemilih yang pindah memilih karena alasan tertentu seperti sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas saat pemungutan suara dengan batas waktu 7 hari sebelum pemungutan suara. Sebelumnya, pembatasan waktu paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.

 

“Pemilih dapat melakukan pindah memilih dan didaftarkan dalam DPTb paling lambat 7 hari sebelum hari pemungutan suara. Adapun bagi pemilih yang tidak memiliki keadaan tertentu dimaksud, ketentuan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara tetap berlaku.”

 

Sementara itu ihwal batas waktu penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara seperti diatur Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi tidak terpenuhi penyelenggaraan pemilu serentak, sehingga dapat menimbulkan masalah dan komplikasi hukum yang dapat mengakibatkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019. Untuk mengatasi potensi masalah itu, maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara harus dibuka dengan tetap memperhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara, lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu.

 

Karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal. Jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.

 

Mahkamah berpendapat sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN cukup beralasan. Hanya saja, mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara.

 

Permohonan pengujian sejumlah pasal itu diajukan oleh Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari; dua orang warga binaan di Lapas Tangerang Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar; dan dua karyawan Muhamad Raziv Barokah dan Sutrisno.

Tags:

Berita Terkait