MK Tegaskan UU Penodaan Agama Konstitusional
Berita

MK Tegaskan UU Penodaan Agama Konstitusional

Namun, menurut Mahkamah, UU No. 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi kericuhan lantaran terjadi penafsiran berbeda-beda terkait tindakan penodaan agama. MUI mengapresiasi putusan ini, tetapi YLBHI merasa kecewa dengan putusan MK ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Bagi Mahkamah, norma UU No. 1/PNPS/1965 sama sekali tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama masing-masing ketika dijalankan. “Adanya norma ini, justru menjamin hak dan kebebasan untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya masing-masing,” lanjutnya.

 

Mahkamah juga merujuk pada Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009. Dalam putusan itu, meski terdapat kebablasan menafsirkan ajaran suatu agama, tetapi kebebasan yang dimaksud harus tetap memperhatikan pokok-pokok ajaran suatu agama. Dan itu hanya dapat dilakukan sesuai metodologi yang telah diakui dan diterima dalam forum internum penganut agama yang bersangkutan agar tidak mengancam keamanan dan ketertiban umum yang berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Meski begitu, menurut Mahkamah, UU No. 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi kericuhan lantaran terjadi penafsiran berbeda-beda terkait tindakan penodaan agama. Tetapi, untuk mengubah UU ini harus dilakukan dalam proses legislasi di DPR dengan melibatkan pihak terkait.

 

Sudah tepat

Sebagai Pihak Terkait, Kuasa Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Erfandi mengapresiasi putusan MK ini karena sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Apa yang didalilkan oleh MK sudah tepat. Penafsiran agama yang dimohonkan pemohon tidak bisa dimaknai atau ditafsirkan sebebas-bebasnya sebagaimana tercantum dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009,” kata Erfandi, di Gedung MK Jakarta.

 

Menurutnya, keberadaan UU PNPS Penodaan Agama justru menunjukan kehadiran negara terhadap keberadaan agama di Indonesia. Mengenai, persoalan main hukum sendiri seperti yang didalilkan para pemohon itu persoalan penegakan hukum, bukan persoalan konstitusional norma regulasi, sehingga sangat wajar MK menolak.

 

“Permohonan ini bukan pada substansi UU PNPS, tetapi pada Surat Keputusan Bersama yang merupakan aturan pelaksana dari UU PNPS. Sekali lagi, justru keberadaan UU PNPS ini menjaga stabilitas dan harmoni antar umat beragama. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya bila tidak ada aturan ini,” katanya. (Baca Juga: MUI: UU Pencegahan Penodaan Agama Masih Dibutuhkan)

 

Pihak terkait lain dalam perkara ini, Anggota YLBHI Muhammad Isnur mengatakan nalar MK dalam uji materi ini telah mencabut nyawa kelompok minoritas oleh kelompok intoleran atas nama penafsiran yang telah menyimpang. Sebab, nalar yang digunakan MK untuk menolak permohonan para pemohon ialah kebebasan forum internum beragama. “Justru putusan MK ini lebih buruk dari Surat Keputusan Bersama terhadap Jemaat Ahmadiyah yang jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM,” kata Isnur kepada Hukumonline.  

 

Menurutnya, permohonan ini bukan hanya tentang Ahmadiyah. Namun, tentang hak konstitusi warga negara khususnya hak beragama, hak menganut kepercayaan dan beribadah sesuai keyakinannya yang dijamin Pasal 28E UUD 1945. “Kita menyayangkan MK sama sekali tidak mempertimbangkan dalil dan ahli-ahli pihak terkait seperti YLBHI, Komnas Perempuan.” 

Tags:

Berita Terkait