MK Tegaskan UU Penodaan Agama Konstitusional
Berita

MK Tegaskan UU Penodaan Agama Konstitusional

Namun, menurut Mahkamah, UU No. 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi kericuhan lantaran terjadi penafsiran berbeda-beda terkait tindakan penodaan agama. MUI mengapresiasi putusan ini, tetapi YLBHI merasa kecewa dengan putusan MK ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Secara bulat, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Aturan itu dinilai sebagai dasar bagi pemerintah melarang aliran atau agama yang dianggap sesat dari agama yang resmi diakui di Indonesia ini dinilai konstitusional.

 

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan No. 56/PUU-XV/2017 di Gedung MK Jakarta (23/7/2018).

 

Permohonan pengujian pasal-pasal UU Penodaan Agama itu diajukan sembilan anggota Ahmadiyah berbagai daerah. Diantaranya, Anisa Dewi, Ary Wijanarko, Asep Saepudin, Dedeh Kurniasih, Dkk. Intinya, mereka merasa dirugikan hak konstitusionanya lantaran kesulitan beribadah disebabkan masjid milik Ahmadiyah disegel, dirusak, bahkan dibakar gara-gara menganut aliran/agama Ahmadiyah.

 

Sebab, UU itu melarang ada penyerupaan agama/aliran tertentu dengan agama resmi yang dianut di Indonesia. Yang spesifik diatur dalam SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri tentang peringatan penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selain itu, aliran Ahmadiyah sudah dinyatakan sesat sesuai Fatwa MUI Tahun 1974 karena organisasi ini melenceng dari ajaran agama Islam di Indonesia. (Baca Juga: Dianggap Sesat, Jamaah Ahmadiyah Minta ‘Pengakuan’ ke MK)

 

Karena itu, pasal-pasal tersebut diminta ditafsirkan secara bersyarat sepanjang aliran atau agama yang ada diakui keberadaannya tanpa meniadakan hak agama (lain) yang telah ada di Indonesia. “Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang ada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya,” demikian bunyi petitum permohonannya.  

 

Namun, dalam putusannya, MK menyimpulkan alasan/dalil permohonan itu tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah menilai pada pokoknya persoalan permohonan ini bukan pada berlakunya Pasal 1,2,3 UU No. 1/PNPS/1965, tetapi pada pembuatan aturan turunanya, seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) atau pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang ajaran Ahmadiyah.     

 

“Para pemohon telah mencampuradukan persoalan konstitusionalitas norma dalam UU No. 1/PNPS/1965 dengan tindak lanjut pelaksanaan UU ini melalui SKB dan peraturan daerah. Jika terdapat masalah atau kerugian akibat berlakunya SKB atau Perda yang menjadikan UU No. 1/PNPS/1965 sebagai dasar pembentukannya. Karenanya, bukan berarti aturan ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” ujar Anggota Majelis Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Bagi Mahkamah, norma UU No. 1/PNPS/1965 sama sekali tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama masing-masing ketika dijalankan. “Adanya norma ini, justru menjamin hak dan kebebasan untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya masing-masing,” lanjutnya.

 

Mahkamah juga merujuk pada Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009. Dalam putusan itu, meski terdapat kebablasan menafsirkan ajaran suatu agama, tetapi kebebasan yang dimaksud harus tetap memperhatikan pokok-pokok ajaran suatu agama. Dan itu hanya dapat dilakukan sesuai metodologi yang telah diakui dan diterima dalam forum internum penganut agama yang bersangkutan agar tidak mengancam keamanan dan ketertiban umum yang berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Meski begitu, menurut Mahkamah, UU No. 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi kericuhan lantaran terjadi penafsiran berbeda-beda terkait tindakan penodaan agama. Tetapi, untuk mengubah UU ini harus dilakukan dalam proses legislasi di DPR dengan melibatkan pihak terkait.

 

Sudah tepat

Sebagai Pihak Terkait, Kuasa Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Erfandi mengapresiasi putusan MK ini karena sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Apa yang didalilkan oleh MK sudah tepat. Penafsiran agama yang dimohonkan pemohon tidak bisa dimaknai atau ditafsirkan sebebas-bebasnya sebagaimana tercantum dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009,” kata Erfandi, di Gedung MK Jakarta.

 

Menurutnya, keberadaan UU PNPS Penodaan Agama justru menunjukan kehadiran negara terhadap keberadaan agama di Indonesia. Mengenai, persoalan main hukum sendiri seperti yang didalilkan para pemohon itu persoalan penegakan hukum, bukan persoalan konstitusional norma regulasi, sehingga sangat wajar MK menolak.

 

“Permohonan ini bukan pada substansi UU PNPS, tetapi pada Surat Keputusan Bersama yang merupakan aturan pelaksana dari UU PNPS. Sekali lagi, justru keberadaan UU PNPS ini menjaga stabilitas dan harmoni antar umat beragama. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya bila tidak ada aturan ini,” katanya. (Baca Juga: MUI: UU Pencegahan Penodaan Agama Masih Dibutuhkan)

 

Pihak terkait lain dalam perkara ini, Anggota YLBHI Muhammad Isnur mengatakan nalar MK dalam uji materi ini telah mencabut nyawa kelompok minoritas oleh kelompok intoleran atas nama penafsiran yang telah menyimpang. Sebab, nalar yang digunakan MK untuk menolak permohonan para pemohon ialah kebebasan forum internum beragama. “Justru putusan MK ini lebih buruk dari Surat Keputusan Bersama terhadap Jemaat Ahmadiyah yang jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM,” kata Isnur kepada Hukumonline.  

 

Menurutnya, permohonan ini bukan hanya tentang Ahmadiyah. Namun, tentang hak konstitusi warga negara khususnya hak beragama, hak menganut kepercayaan dan beribadah sesuai keyakinannya yang dijamin Pasal 28E UUD 1945. “Kita menyayangkan MK sama sekali tidak mempertimbangkan dalil dan ahli-ahli pihak terkait seperti YLBHI, Komnas Perempuan.” 

Tags:

Berita Terkait