MK Pastikan Hak Pekerja dalam Kepailitan
Kolom

MK Pastikan Hak Pekerja dalam Kepailitan

Dari sisi kepentingan kurator, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan pekerja, kreditur separatis maupun petugas pajak.

Bacaan 2 Menit

Perusahaan yang operasionalnya berhenti setelah divonis pailit, otomatis berhenti membayar upah pekerja. Akibatnya, selama proses pemberesan kepailitan berlangsung, pekerja tidak mendapat upah. Memperhatikan alasan kedua dan ketiga di atas, timbul pertanyaan, upah yang mana yang harus dibayar oleh kurator, apakah upah yang tertunggak, atau upah selama proses (pemberesan) kepailitan, atau keduanya harus dibayar?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita mulai dengan satu pertanyaan, apakah upah yang tertunggak, status hukumnya sama dengan upah dalam proses (pemberesan) kepailitan? Sebelum pertanyaan itu dijawab, sebaiknya perhatikan Pasal 39 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU:

  1. Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputus dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya ;
  2. Sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit ;

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2), upah yang belum dibayar sebelum dan sesudah kepailitan, dikualifikasi sebagai utang. Sumber dana untuk membayar utang upah berasal dari harta pailit. Kalau debitor menunggak upah pekerja sebelum diputus pailit, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 memberi kaidah, kurator wajib membayar seluruh tunggakan upah. Kalau putusan kepailitan tidak mengakibatkan operasional perusahaan berhenti, seperti dialami oleh PT. Telkomsel, upah pekerja wajib dibayar. Kalau putusan kepailitan mengakibatkan operasional perusahaan berhenti, pertanyaannya, apakah pekerja berhak mendapat upah selama proses (pemberesan) kepailitan?

Berkaitan dengan pelaksanaan PHK, UU Ketenagakerjaan mengenal dua terminologi upah, yaitu upah yang biasa diterima dan upah skorsing. Upah yang biasa diterima di dalam praktiknya disebut upah proses PHK. Upah proses PHK adalah upah yang dibayar oleh pengusaha kepada pekerja selama proses PHK berlangsung. Kewajiban itu timbul ketika alasan PHK pekerja terbukti melanggar hukum. Sedangkan upah skorsing adalah upah yang timbul akibat pengusaha melakukan skorsing kepada pekerja.

Skorsing di dalam praktiknya bisa dilakukan untuk dua tujuan, yaitu skorsing menuju PHK, dan skorsing sebagai pembinaan. Di dalam konteks perselisihan hubungan industrial, sebagaimana disebutkan di atas, asas no work no pay tidak berlaku. Oleh karena itu, kalau upah pekerja harus dibayar sejak debitur diputus pailit, sedangkan operasional debitor berhenti akibat pailit, sulit memastikan, apakah kurator berani membayar upah pekerja selama proses kepailitan. Kendala mendapatkan upah selama proses pemberesan kepailitan semakin terbuka ketika harta pailit tidak sebanding dengan utang debitor.

Kurator bisa berdalih bahwa pekerja dan debitor tidak menjalankan kewajiban selama proses kepailitan bukan atas kehendak kedua belah pihak, tetapi karena vonis pailit pengadilan. Karena itu, kalau pekerja menuntut upah pasca putusan pailit – upah selama pemberesan kepailitan - akan terbentur dengan asas no work no pay. Pembayaran seluruh upah dalam proses pailit mungkin bisa dilaksanakan kalau harta pailit cukup untuk menalangi. Uraian ini memperlihatkan bahwa status hukum upah yang tertunggak tidak sama dengan upah selama proses (pemberesan) kepailitan.

Tags:

Berita Terkait