Penerapan kompetisi unbundlling dalam penyediaan tenaga listrik sendiri hanya terjadi di daerah Jawa, Bali dan Madura karena daerah-daerah tersebut merupakan pasar yang telah terbentuk secara kuat baik finansial maupun teknologi. Sehingga apabila sistem unbundlling tetap diterapkan maka kemakmuran rakyat yang merata tidak akan tercapai. Apalagi orientasi pelaku usaha swata hanya berdasar pada keuntungan dari pasar yang sudah terbentuk.
Seluruhnya dicabut
Selain itu, majelis menyebutkan pasal 16 dan 17 serta 68 dari UU ketenagalistrikan adalah jantung dan paradigma dari undang-undang tersebut. Oleh karena pasal-pasal yang menjadi paradigma dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maka seluruh ketentuan dalam undang-undang tersebut dicabut.
Selanjutnya, MK menyatakan dengan dicabutnya UU No.20/2002, maka UU No.15/1985 tentang Ketenagalistrikan menjadi berlaku kembali sampai pemerintah dan DPR menyepakati undang-undang yang baru yang tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ditegaskan pula dalam putusannya, untuk kontrak-kontrak kerja maupun izin usaha yang didasari pada UU No.20/2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak tersebut habis atau tidak berlaku. Sedangkan kontrak yang masih direncanakan akan ditandatangani harus kembali mengacu pada ketentuan UU No.15/1985.
Usai persidangan, Jimly menjelaskan putusan ini merupakan putusan MK pertama dalam bidang perekonomian. Ia sendiri menyatakan ini bisa saja dijadikan yurisprudensi bagi permohonan lain yang menyangkut sektor ekonomi seperti judicial review untuk UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Namun Jimly mengingatkan semua putusan berangkat dari pertimbangan dan latar belakang yang berbeda.
Tetapi menurut Jimly, majelis hakim MK tentu tidak akan memutuskan jauh dari prinsip-prinsip dasar. Kita harus konsisten dengan pemikiran dan prinsip dasar, ujar Jimly.
Pasal 16 yang memerintahkan sistem pemecahan atau pemisahan usaha ketenagalistrikan (unbundlling system) dengan pelaku usaha yang berbeda, dinilai akan membuat kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin terpuruk. Ini akan mengakibatkan pasokan listrik untuk semua lapisan masyarakat baik yang bersifat komersil maupun non komersil menjadi tidak terjamin.
Baik pasal 16 maupun pasal 17 dinyatakan MK bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dimana majelis menilai tenaga lisrtik saat ini merupakan cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai oleh negara. Oleh karena itu unsur-unsur privatisasi yang terkandung dalam pasal tersebut harus dinyatakan bertentangan.
Pada bagian lain pertimbangannya majelis berpendapat pengelolaan usaha listrik seharusnya hanya diserahkan kepada BUMN, dalam hal ini adalah PLN. Sedangkan perusahaan swasta nasional lainnya atau perusahaan asing hanya ikut serta apabila diajak untuk bekerjasama dengan BUMN saja.