MK: Pemeriksaan Anggota Legislatif Harus Izin Presiden
Berita

MK: Pemeriksaan Anggota Legislatif Harus Izin Presiden

Pemohon sangat kecewa dengan putusan MK karena pertimbangannya dinilai sangat janggal dan kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: Humas MK
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: Humas MK


Sedangkan, anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan tindak pidana, pemanggilan dan permintaan keterangan proses penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dan Gubernur. “Perihal pengaturan proses penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden juga diberlakukan bagi anggota MPR dan DPD,” tegasnya Adams.

Sebelumnya, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana mempersoalkan Pasal 245 UU MD3 yang mengganggap persetujuan tertulis MKD bagi anggota DPR yang dimintai keterangan dalam penyidikan dugaan tindak pidana terkesan mengistimewakan DPR. Pasal itu minta dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan prinsip nondiksriminasi seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini juga mirip dengan Pasal 36 UU Pemda yang sudah dibatalkan MK terkait izin pemeriksaan kepala daerah tidak lagi memerlukan izin presiden.

Usai persidangan, Ichsan Zikri, selaku kuasa hukum Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, menegaskan putusan MK melegitimasi adanya diskriminasi kesetaraan warga negara melalui persetujuan tertulis presiden. Dia mengaku sangat kecewa dengan putusan MK karena pertimbangannya dinilai sangat janggal dan kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya.

“Kita harus lihat UU Pemda yang mengharuskan adanya izin presiden untuk walikota atau bupati yang mau diperiksa sudah dibatalkan MK. Namun, kenapa sekarang kita mau hapuskan izin MKD justru malah dipatenkan, dilegitimasi dengan izin dari presiden,” ujar Icshan di Gedung MK.

Menurutnya, alasan pembeda pemanggilan antara warga biasa dengan anggota DPR yang dijabarkan putusan MK sangat tidak rasional. Dia mensinyalir sebagai bentuk impunitas yang baru. Bukan tak mungkin, memproses anggota DPR akan semakin sulit dan memperlambat proses hukum.

“Bagaimana kalau misalnya anggota DPR dari koalisi pemerintah bisa saja izinnya dilama-lamain, sedangkan anggota DPR oposisi langsung dikeluarkan,” ujarnya memperkirakan. “Bahkan, perluasan yang diberikan MK dengan memasukkan anggota MPR dan DPD justru memperparah keadaan.” 
Keinginan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana agar proses pemeriksaan anggota DPR yang terlibat kasus hukum tanpa perlu persetujuan tertulis pihak manapun akhirnya kandas. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemanggilan anggota DPR yang terlibat kasus hukum (penyidikan) untuk dimintai keterangannya harus melalui persetujuan tertulis presiden, bukan Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

“Frasa ‘persetujuan tertulis dari MKD' dalam Pasal 245 ayat (1) dan Pasal 224 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘persetujuan tertulis dari Presiden’,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 76/PUU-XII/2014 di Gedung MK, Selasa (22/9).   

MK menyatakan adanya persetujuan tertulis dari presiden bukan berarti memberikan perlindungan istimewa terhadap anggota DPR untuk dimintai keterangannya atas penyidikan dugaan tindak pidana. Hal ini dilakukan karena sebagai pejabat negara memiliki risiko yang berbeda dari warga negara biasa dalam melaksanakan fungsi dan haknya.

“Pembedaan itu berdasarkan prinsip logika hukum yang wajar dan proporsional yang eksplisit dimuat dalam undang-undang serta tidak diartikan sebagai pemberian keistimewaan yang berlebihan,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah, apabila persetujuan ini tetap diberikan pada MKD maka tidak tepat. Sebab, melihat fungsinya, MKD hanya lembaga etik yang tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana. Apalagi, jika melihat komposisi keanggotaan MKD maka bisa menimbulkan konflik kepentingan. Karena itu, persetujuan tertulis harus dikeluarkan oleh presiden sebagai kepala negara, bukan MKD.

“Ini salah satu fungsi menegakkan upaya check and balances antara legislatif dan eksekutif. Mahkamah berpendapat izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden, bukan dari MKD.”

Meski begitu, demi memenuhi asas kepastian hukum, maka presiden wajib mengeluarkan surat persetujuan dalam waktu singkat demi menjamin kepastian hukum. Tak hanya DPR, persetujuan tertulis presiden pun berlaku bagi anggota MPR dan DPD. Sebab, dalam UU No. 27 tahun 2009 ketentuan persetujuan ini bukan hanya diatur bagi anggota DPR, melainkan juga anggota MPR dan DPD.
Tags:

Berita Terkait