Meski Memberatkan, Pemekaran Daerah Tak Bisa Dilarang
Berita

Meski Memberatkan, Pemekaran Daerah Tak Bisa Dilarang

Banyaknya daerah yang ingin otonom membebani ongkos anggaran. Namun, baik pemerintah maupun DPR tak boleh melarang lantaran amanat Undang-Undang. Perlu adanya evaluasi dampak desentralisasi.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Meski Memberatkan, Pemekaran Daerah Tak Bisa Dilarang
Hukumonline

 

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta pernah memaparkan, saat ini pemerintah mematok sekurang-kurangnya Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26 persen dari pendapatan dalam negeri.

 

Paskah pun mengingatkan, daerah seharusnya membatasi pembangunan dan pembelian gedung kantor, rumah dinas, atau tanah. Kualitas belanja daerah mesti ditingkatkan. Fokuslah pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, ujarnya di depan Panggar pekan lalu.

 

Tahun

Belanja Daerah

Dana Alokasi Khusus

2007

Rp258,8 triliun

Rp17,1 triliun

2008 (pagu indikator)

Rp267,3 triliun

Rp21,3 triliun

Sumber: Bappenas

 

Bahkan, anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini menengarai, pemekaran daerah ini lantaran nafsu elit politik lokal. Mereka ingin menjadi penguasa baru, ungkap anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), dalam sebuah diskusi, Rabu (30/5). Forum tersebut digelar oleh PKS, di Gedung DPR Ruang Nusantara I.

 

Namun, Jazuli paham keinginan pemekaran ini sulit dibendung lantaran dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Memang, UU tersebut mengatur pembentukan daerah otonom. Ada dua skenario pembentukan daerah otonom. Kalau bukan dari pemekaran, yah dari penggabungan dua atau lebih daerah.

 

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eko Prasojo menilai pemekaran memang harus distop, setidaknya ditunda. Eko menyadari pemekaran tak bisa dibendung. Caranya memang mudah, lewat dua jalur. Kalau gagal di pintu Departemen Dalam Negeri (Depdagri), yah bisa usul melalui pintu parlemen, selorohnya.

 

Eko mengusulkan, untuk sementara, salah satu pintu masuk usungan aspirasi pemekaran perlu ditutup. Karena pemekaran berarti melahirkan pemerintah daerah (pemda) baru, setidaknya pintu DPR ditutup dulu. Biarlah Depdagri yang menentukan layak-tidaknya pemekaran sebuah daerah.

 

Bahkan, Eko urun rembug setidaknya pemerintah bersama DPR tidak melayani 'loket pendaftaran' mulai 2007 ini. Sudah banyak yang antre mau mekar. Tuntaskan dulu, ungkitnya dengan semangat.

 

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, kurang sependapat dengan Eko. Penghentian proses pemekaran justru melabrak UU Pemda. Makanya, menurut Syarif, usulan pemekaran tak perlu dijegal, namun pemerintah-DPR juga membuka seluasnya usulan penggabungan.

 

Menurut Syarif, pemekaran adalah alat untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Kalau sebuah alat berguna, yah terus saja digunakan. Kalau gagal membantu mencapai tujuan, alat tersebut dikembalikan saja alias gabung lagi.

 

Sayang, hingga kini belum pernah ada praktek penggabungan kembali daerah hasil pemekaran di Indonesia. Nampaknya pemerintah perlu memberi insentif kepada daerah yang hendak bergabung, usul Syarif.

 

Kali ini Eko sepakat dengan Syarif. Pemekaran adalah sebuah alat, bukan tujuan. Lanjut Eko, jika hanya dimaknai sebagai tujuan, pemekaran hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan lokal. Akibatnya, pemberdayaan dan pembangunan daerah baru makin terbengkelai.

 

Kalangan Depdagri pun mengamini pendapat Eko dan Syarif. Banyak daerah baru yang tak kunjung terurus lantaran kepentingan politik. Mereka hanya meributkan mana ibu kota yang cocok, tukas Direktur Penataan Daerah Abdul Fatah.

 

Jazuli, yang duduk di komisi bidang dalam negeri ini pesimis jika ada daerah yang rela melebur. Sudah terlanjur memisahkan diri, tak mungkin elit-elit baru rela kehilangan kekuasaannya, tuturnya.

 

Baik Jazuli, Eko, Fatah, maupun Syarif sekata, pemekaran ini perlu ditinjau ulang. Kami hanya akan membahas usulan 1999-2004 dulu. Yang lainnya nanti saja, tukas Jazuli.

 

Eko menekankan adanya sebuah paradoks. Indonesia dari negara sentralistik sedang gencar-gencarnya melangkah ke arah desentralisasi. Sementara itu, negara federal justru sedang menuju ke pola terpusat.

 

Baik Eko maupun Syarif mengusulkan adanya kriteria kualitatif dalam pertimbangan pemekaran. Jika hanya pertimbangan angka-angka, memang mudah membuat daerah anyar. Misalnya disyaratkan cukup 3 kecamatan bisa mekar menjadi kabupaten baru, ungkap Eko. Padahal, pemekaran berdampak luas di ranah sosial maupun budaya.

Kata 'otonomi daerah' nampaknya punya daya sihir tersendiri. Sejak 1999 wacana itu dikumandangkan, kini sudah terdapat 7 provinsi, 129 kabupaten, dan 29 kota baru hasil pemekaran.

 

Contohlah Kabupaten Bogor. Daerah yang terdiri dari 40 kecamatan dan 430 desa ini sedang mengkaji kemungkinan pemekaran Kabupaten Bogor Barat. Proyeksi daerah baru ini membentang dari Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Dharmaguna, hingga Parung Panjang.

 

Bogor yang dihuni 4,2 juta jiwa ini meraup Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp265 miliar, dari APBD Rp1,6 triliun. Ada tiga skenario bentuk Bogor Barat. Apakah terdiri dari 20, 17, atau cukup 14 kecamatan. Jika memakai 14 kecamatan, PAD Bogor Barat diperkirakan 37 miliar, tukas anggota DPRD Komisi A, Dading Wahyudi. Dading, yang duduk di komisi bidang pemerintahan ini juga menjabat Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran Daerah Bogor.

 

Masalahnya, kini banyak kalangan risau pemekaran ini membabi buta tak pernah henti. Akibatnya, anggaran negara makin tercuil guna menyusui daerah anyar. Memang sebaiknya pemekaran daerah sesuai dengan kebutuhan, bukan menurut keinginan, tutur Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Panggar DPR), Emir Moeis, sepekan lalu.

 

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang sempat mengusulkan penghentian pemekaran daerah. Cukuplah. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur saja, bukannya bikin gedung pemerintahan baru, tandasnya.

Tags: