Merefleksi Esensi Pendidikan Tinggi Hukum dalam Bingkai Keadilan Sosial
Terbaru

Merefleksi Esensi Pendidikan Tinggi Hukum dalam Bingkai Keadilan Sosial

Kolaborasi dengan lembaga eksternal seperti lembaga swadaya masyarakat hingga komunitas-komunitas menjadi salah satu upaya agar dapat menanamkan kepekaan keadilan sosial kepada para civitas akademika.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

”Kolaborasi ini diperlukan karena masalah ini sangat kompleks tidak hanya dari satu disiplin ilmu. Misalnya masalah manajerial kampus dan lainnya. Dari hasil paparan berbagai pembicara memang ditemukan ada masalah institusional,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Tristam Pascal Moeliono berpandangan, terdapat berbagai tantangan dalam pembelajaran atau penelitian dalam pendidikan tinggi hukum di universitas. Tak heran muncul perbincangan mengenai perlu tidaknya penambahan parameter dan tujuan atau paradigma baru. Salah satu aspek yang dipandang perlu dimasukkan perihal sumbangan pendidikan tinggi hukum dalam mewujudkan keadilan sosial.

“Kalau mau bicara keadilan sosial, kita berangkat dari mana sih? Ada definisi sangat sederhana. Keadilan sosial itu kaitannya dengan ekonomi, ketimpangan sosial, dan seterusnya,” ujarnya.

Dalam hal ini, kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi bagian dalam memperjuangkan keadilan sosial. Dia menyayangkan masih banyaknya metode penelitian yang menjadi basis pembelajaran di kampus cenderung masih menggunakan pendekatan perundangan yang deskriptif. Bahkan terkadang, tanpa melakukan penjelasan atau analisis dari penelitian berdasarkan sudut pandang yang tidak praktikal.

Keadilan sosial unsur dalam penelitian hukum

Sampai saat ini pendidikan tinggi hukum di Indonesia masih melakukan 3 pendekatan keilmuan hukum. Yakni doktrinal, teoritis, dan filosofis. Selain arah dari penelitian hukum yang perlu dipertajam dan menyoroti aspek keadilan sosial, Tristam menyampaikan pentingnya membuat pembelajaran hukum lebih realistis menyentuh persoalan-persoalan konkrit. Sebab, jika penelitian hanya mengacu pada peraturan perundangan saja, maka tidak berbeda dengan ‘mengoprek dokumen’ semata.

“Tidak mungkin orang hukum hanya (melihat, -red) aturannya tidak sesuai dengan prosedur pembuatan UU, tapi mau tidak mau harus multidisipliner (dalam melakukan penelitian, -red),” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Universitas Mataram Dr. Widodo Dwi Putro menyampaikan persoalan keadilan yang umum diidentikkan dengan hukum oleh banyak orang sebetulnya sangat rumit. Meski begitu, suatu hal yang jelas-jelas tidak adil dapat diketahui tanpa perlu menegaskan pasti seperti apa keadilan yang sempurna.

“Kasus-kasus ketidakadilan justru bisa menjelaskan apa itu keadilan,” ungkap Widodo.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Leiden,  Prof. Dr. Adriaan Bedner berpendapat keadilan sosial menjadi unsur penting dalam melakukan penelitian hukum. Untuk menelaah terkait keadilan sosial, Prof Adriaan memberi sejumlah rekomendasi literatur yang dapat dijadikan rujukan seperti buku karya Thomas Piketty berjudul Capital in the Twenty-First Century dan Capital and Ideology. Lalu buku The Code of Capital, tulisan Katharina Pistor.

“Buku-buku itu dibaca di Fakultas-Fakultas Hukum di Belanda, bagaimana keadilan sosial sekarang ini dianggap gagal karena banyak ketidakadilan sosial yang telah terjadi. Nah, karena itu kami (di Universitas Leiden) melakukan perubahan berupa visi misi Fakultas sekarang adalah menghasilkan mahasiswa yang lebih mengerti dan lebih akademis,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait