(Baca Juga: Ada Regulasi ‘Sesat’ dalam Revisi PP Pertambangan?)
Berdasarkan draf yang Hukumonline terima, memang terdapat penambahan kewenangan DPR dalam penyelenggaraan BUMN. Salah satunya, terdapat pada Pasal 4 ayat 1 tentang penyelenggaraan BUMN. Ketentuan tersebut menyatakan setiap rencana strategis BUMN harus dikonsultasikan kepada DPR.
RUU BUMN PENYELENGGARAAN BUMN Pasal 4:
(1) Penyelenggaraan BUMN disusun dalam rencana strategis Kementerian BUMN yang merupakan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. (2) Penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat klasifikasi BUMN yang meliputi: a. BUMN yang melaksanakan pelayanan kepentingan umum; b. BUMN komersial; dan c. BUMN komersial dan mendapat penugasan pelayanan kepentingan umum. (3) Rencana strategis Kementerian BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan ditetapkan oleh Menteri, dengan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR RI. |
Meski demikian, Totok menyatakan isi RUU BUMN tersebut masih dapat berubah setelah ada pembahasan antara DPR dengan pemerintah. Apabila terdapat keberatan dari pemerintah, Totok mengharapkan DPR dan pemerintah menemukan cara pengelolaan BUMN yang lebih profesional.
“Substansi dari revisi ini yaitu membuat regulasi UU yang memberi rasa aman bagi anak bangsa yang bekerja di BUMN. Dan aturan baru ini bisa membuat BUMN lebih berperan terhadap perekonomian,” jelas Totok.
(Baca Juga: Revisi UU BUMN Atur Ketentuan Pemilihan Direktur dan Komisaris Melalui DPR)
Lebih lanjut, RUU BUMN ini juga memuat larangan direksi dan komisaris BUMN rangkap jabatan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 23 RUU BUMN. Direksi BUMN dan komisaris dilarang rangkap jabatan di kementerian maupun partai politik. Aturan rangkap jabatan ini bertujuan untuk menyehatkan struktur organisasi BUMN, agar direksi dan komisaris dijabat oleh profesional sesuai kompetensinya. Sehingga, tidak ada BUMN merugi akibat kesalahan pengelolaan.
Sebelumnya, Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN, Hambra menganggap RUU BUMN yang diajukan DPR tersebut terlalu mengekang ruang gerak BUMN. Menurutnya, draf RUU BUMN tersebut memuat banyak pasal yang mengharuskan BUMN berkonsultasi dan mendapat persetujuan DPR dalam setiap aksi korporasi.
“Dalam draf tersebut tidak jelas mengenai ruang lingkup BUMN, sehingga tidak ada batasan jelas mana yang disebut BUMN. Selain itu, setiap penyelenggaraan kegiatan BUMN (aksi korporasi) disusun harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR,” kata Hambra di Depok pada Oktober lalu.