Menyoal 'Grey Area' Pengaturan Gratifikasi
Berita

Menyoal 'Grey Area' Pengaturan Gratifikasi

Ada ancaman pidana sekaligus pengampunan bagi penerima suap.

INU
Bacaan 2 Menit

Tapi, Pasal 12B tidak menyatakan secara jelas dan tegas perbedaan gratifikasi dan suap, apalagi tempus delicti-nya. Gratifikasi menjadi atau sama dengan suap bila pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi gratifikasi-suap (corrupt gratification) dapat terjadi sebelum (ex-ante) atau setelah (ex-post factum) tindakan dan keputusan korup pejabat publik dilakukan/tidak dilakukan.

Dia berpendapat, corrupt gratification merupakan ex-post factum karena diberikan sebagai reward berkaitan dan/atau bertentangan dengan tugas dan kewajiban pejabat publik. Sedangkan, suap, termasuk janji, merupakan ex-ante factum yaitu usaha untuk menggerakan atau mempengaruhi (inducement) dilakukannya tindak pidana korupsi.

Sanksi terhadap corrupt gratification bisa lebih berat atau lebih ringan dari suap. Lebih berat apabila tindakan dan keputusan yang bertentangan dengan kewajiban dan merugikan kepentingan umum itu telah terjadi. Lebih ringan bila ternyata tindakan pejabat publik itu tidak bertentangan dengan kewajibannya. Tapi tindakan ini dikriminalisasi karena berpotensi atau menciptakan budaya suap/korupsi.

“Sedangkan suap dihukum lebih ringan karena tindakan korup yang merugikan itu belum terjadi,” urainya.

Dia menambahkan seharusnya penerapan pembuktian terbalik (reversed burden of proof) tidak dibatasi pada penerimaan gratifikasi dengan nilai di atas Rp 10 juta. Penerima gratifikasi harus membuktikan sebaliknya bahwa gratifikasi yang dia terima bukan suap, berapapun jumlahnya. Pembuktian terbalik ini penting terutama untuk mengungkap illicit enrichment sebagai hasil penerimaan gratifikasi yang ilegal.

Tags:

Berita Terkait