Menyoal 'Grey Area' Pengaturan Gratifikasi
Berita

Menyoal 'Grey Area' Pengaturan Gratifikasi

Ada ancaman pidana sekaligus pengampunan bagi penerima suap.

INU
Bacaan 2 Menit
Simbol gratifikasi. Foto: www.kpk.go.id
Simbol gratifikasi. Foto: www.kpk.go.id

Mulai banyak pejabat negara yang tertangkap karena suap tetapi berkelit menerima gratifikasi. Modus itu dilakukan dengan menggunakan Pasal 12C yang isinya memaafkan penerima gratifikasi apabila melaporkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum 30 hari.

Seperti dilakukan petugas pajak, Tommy Hindratno dalam kasus suap PT Bhakti Investama. Hal sama coba dilakukan eks Ketua SKK Migas Rudy Rubiandini. Bahkan, tak mungkin Ketua MK nonaktif Akil Mochtar mencoba hal yang sama.

Terkait pasal gratifikasi, Pasal 12B dan 12C, sejak 2012, Inggris dan Uzbekistan, dua negara yang mereview penerapan UNCAC di Indonesia merekomendasikan agar menghapus pengaturan itu.

Hal itu dikarenakan pengaturan gratifikasi dalam Pasal 12B dan 12C UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UNCAC, tidak jelas, dan berpotensi memaafkan pejabat negara yang melaporkan penerimaan sesuatu dari pihak lain sebelum 30 hari.

Demikian pendapat para pengajar hukum dalam diskusi di ICW, Jumat (4/10). Diskusi dilakukan terkait hasil review penerapan UNCAC di Indonesia oleh para pengkaji dari Inggris dan Uzbekistan. Gratifikasi, dinilai salah satu jenis suap yang dapat dipidana seperti diatur Pasal 12B. Namun, ketentuan ini dilemahkan dengan Pasal 12C karena ada pengampunan dari pidana apabila pejabat negara melaporkan penerimaan sebelum 30 hari.

Pengajar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan sepakat dengan rekomendasi tersebut. Menurut dia, gratifikasi hanyalah salah satu unsur dari suap seperti diatur Pasal 12 b. “Unsur dalam pasal ini adalah gratifikasi, berhubungan dengan jabatan, dan berlawanan dengan kewajibann atau tugas,” urainya.

Pohan berpendapat, Pasal 12B adalah duplikasi dari Pasal 12 b dan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor. Meskipun ada keunggulan dalam Pasal 12B yaitu, pengalihan beban pembuktian dalam hal gratifikasi lebih dari Rp10 juta. Keunggulan lain adalah secara luas mendefinisikan gratifikasi, sementara dalam Pasal 12 b hanya disebutkan hadiah.

Dengan diterimanya gratifikasi, maka tindak pidana suap jo Pasal 12B ayat (1) telah selesai dilakukan. Dan Pasal 12C menjadi alasan penghapus pidana. “Tapi Pasal 12C tidak tepat karena pasal 12B ayat (1) bukan merupakan tindak pidana gratifikasi akan tetapi merupakan tindak pidana suap,” tegasnya.

Pendapat sama diutarakan oleh Reda Manthovani, dosen FH Universitas Pancasila. Dia berpendapat, Pasal 12B menduplikasi pengaturan suap dalam Pasal 11, Pasal 12 a dan Pasal 12 b, dan 12 c khusus untuk hakim. “Karena memuat penerimaan sebagai hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya,” urai dosen yang juga seorang jaksa ini.

Pasal gratifikasi, menurutnya hanya berguna bagi pejabat negara yang memang sadar pemberian itu memang berkaitan dengan jabatannya. Tapi, banyak pejabat yang tak sadar akan hal itu. Selain pula memang ada kebiasaan bagi rakyat Indonesia untuk memberi sesuatu bagi orang lain dalam sebuah hajatan seperi perkawinan dan khitanan anak dari pejabat.

Karena itu Reda menduga ada keragu-raguan perumus undang-undang terkait gratifikasi. Makanya, dia menyarankan agar Pasal 12B dan 12C dilebur dalam pasal ke dalam pasal-pasal lain yang terkait. Terutama untuk memperkuat mekanisme pembuktian Pasal 37 UU Tipikor.

Dia juga menyarankan agar revisi UU Tipikor saat ini memuat ketentuan UNCAC yang belum ada. Yaitu, Pasal 18 UNCAC tentang trading in influence, seperti kasus suap impor daging sapi. Dimana Luthfie Hasan Ishaq yang memanfaatkan pengaruhnya, baik secara langsung maupun tidak sebagai Presiden PKS untuk mengubah kebijakan kuota impor daging sapi oleh Menteri Pertanian yang masih merupakan kader PKS.

Serta memasukkan Pasal 20 tentang illicit enrichment atau penambahan kekayaan tidak sah. Karena banyak pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki kekayaan diluar batas kewajaran dan fantastis. Tapi, tak pernah melaporkan ke LHKPN dan Ditjen Pajak.

Pengamat isu-isu korupsi Robby Arya Brata dalam diskusi itu juga sependapat dengan dua narasumber lain. Karena pengaturan gratifikasi di UU Tipikor memang tidak jelas. Mengutip Black’s Law Dictionary bahwa gratifikasi sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit”. Yaitu sebagai pemberian, hadiah secara sukarela sebagai kompensasi atau balas jasa atas pemberian pelayanan atau manfaat atau keuntungan.

Tapi, Pasal 12B tidak menyatakan secara jelas dan tegas perbedaan gratifikasi dan suap, apalagi tempus delicti-nya. Gratifikasi menjadi atau sama dengan suap bila pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi gratifikasi-suap (corrupt gratification) dapat terjadi sebelum (ex-ante) atau setelah (ex-post factum) tindakan dan keputusan korup pejabat publik dilakukan/tidak dilakukan.

Dia berpendapat, corrupt gratification merupakan ex-post factum karena diberikan sebagai reward berkaitan dan/atau bertentangan dengan tugas dan kewajiban pejabat publik. Sedangkan, suap, termasuk janji, merupakan ex-ante factum yaitu usaha untuk menggerakan atau mempengaruhi (inducement) dilakukannya tindak pidana korupsi.

Sanksi terhadap corrupt gratification bisa lebih berat atau lebih ringan dari suap. Lebih berat apabila tindakan dan keputusan yang bertentangan dengan kewajiban dan merugikan kepentingan umum itu telah terjadi. Lebih ringan bila ternyata tindakan pejabat publik itu tidak bertentangan dengan kewajibannya. Tapi tindakan ini dikriminalisasi karena berpotensi atau menciptakan budaya suap/korupsi.

“Sedangkan suap dihukum lebih ringan karena tindakan korup yang merugikan itu belum terjadi,” urainya.

Dia menambahkan seharusnya penerapan pembuktian terbalik (reversed burden of proof) tidak dibatasi pada penerimaan gratifikasi dengan nilai di atas Rp 10 juta. Penerima gratifikasi harus membuktikan sebaliknya bahwa gratifikasi yang dia terima bukan suap, berapapun jumlahnya. Pembuktian terbalik ini penting terutama untuk mengungkap illicit enrichment sebagai hasil penerimaan gratifikasi yang ilegal.

Tags:

Berita Terkait