Menunggu Putusan Hakim dalam Kasus Penumpang Disabilitas Gugat Maskapai
Berita

Menunggu Putusan Hakim dalam Kasus Penumpang Disabilitas Gugat Maskapai

Penggugat menilai tergugat melanggar peraturan. Tergugat mengklaim sudah melakukan tindakan sesuai aturan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Penggugat mengikutsertakan Angkata Pura dan Ditjen Perhubungan Udara karena tergugat II dan tergugat III ini dianggap tidak memberikan solusi bagi kedua belah pihak. Laporan Heppy ke Ombudsman dan Komnas HAM tak juga mendorong ada penyelesaian yang difasilitasi Angkasa Pura dan Ditjen Perhubungan Udara.

Dalam gugatan, pihak Dwi meminta majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan, menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum; memerintahkan tergugat meminta maaf kepada penggugat, organisasi penyandang disabilitas di media massa; dan menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi materiil dan immaterial dengan total Rp678 juta.

Fredrik menegaskan kliennya sejak awal sudah ingin menyelesaikan masalah dengan Dwi melalui pertemuan dua pihak. Namun pertemuan batal karena Dwi ingin melibatkan Lembaga Bantuan Hukum dalam pertemuan. Etihad tak setuju. “Klien kami  merasa itu tidak sesuai kesepakatan. Kami hanya ketemu saja dengan Ibu Dwi Ariyani,” tutur Fredrik.

Fredrik juga menegaskan sudah memberikan jawaban dan argumentasi atas apa yang dilalilkan penggugat. Ia bahkan menyoroti perubahan perubahan nilai gugatan yang diajukan penggugat melalui replik. Perubahan nilai gugatan, kata Fredrik, tidak diperbolehkan dan melanggar pasal 127 RV.  

Tergugat menepis pandangan penggugat bahwa tindakan Etihad melanggar peraturan perundang-undangan penerbangan. Fredrik menegaskan apa yang dilakukan kliennya sudah sesuai regulasi yang ditetapkan International Air Transport Association (IATA) dan peraturan dalam bidang penerbangan lainnya. Ahli yang dihadirkan di persidangan pun mengeluarkan pernyataan senada. “Yyang dilakukan Etihad sudah sesuai dengan IATA,” imbuhnya.

Regulasi lain yang disorot tergugat adalah penggunaan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini disahkan dan berlaku setelah peristiwa terjadi. Menggunakan UU Penyandang Diasabilitas dianggap melanggar asas hukum ‘tidak boleh berlaku surut atau tidak boleh berlaku mundur’.

Kini, kedua belah pihak menunggu putusan majelis hakim.

Tags:

Berita Terkait