Menkopolhukam: Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Fokus Pada Korban
Terbaru

Menkopolhukam: Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Fokus Pada Korban

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terkait dengan pelakunya masuk ranah penyelesaian yudisial yang diputus Komnas HAM dan DPR.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Sejak awal pembentukan Tim PPHAM ini menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Ketua PBHI, Julius Ibrani, menilai tidak ada proses seleksi yang terbuka dan transparan serta pemeriksaan terhadap latar belakang dan kapasitas anggota tim yang dibentuk melalui Keppres 4/2023. Akibatnya terjadi konflik kepentingan karena beberapa anggota tim terlibat atau pelaku pelanggaran HAM berat yang berasal dari institusi pelanggar HAM berat seperti Polri, TNI, BIN, dan lainnya.

“Ini yang sebenarnya menghalangi penyelesaian di level pengungkapan kebenaran (truth seeking), pengadilan HAM (ajudikasi) dan reformasi institusional. Sebaliknya, kebijakan ini memang berniat jahat untuk menghambat penyelesaian yang sebenarnya karena memasukkan nama dan instansi asal Pelanggar HAM,” kata Julius.

Selanjutnya Inpres 2/2023 menurut Julius mempertegas absennya pengadilan (ajudikasi) dengan menggunaan frasa ‘dugaan’ sebelum frasa ‘pelanggaran HAM berat’ pada diktum Kedua poin 17 terkait tugas Jaksa Agung dalam Inpres tersebut. Peran Jaksa Agung dalam perkara pelanggaran HAM berat harusnya melakukan penuntutan di pengadilan HAM. Ketentuan ini menegaskan proses pengadilan (ajudikasi) ditiadakan.

Begitu juga diktum Kedua poin 18 dan 19, di mana Presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri melakukan optimalisasi pendidikan dan pelatihan HAM. Padahal persoalan pelanggaran HAM berat bersifat sistematis dan terstruktur yang artinya ada kesalahan sistem dan struktur institusional dalam organisasi TNI dan Polri. Misalnya, pendekatan keamanan untuk merespon kebebasan sipil seperti demonstrasi, belum adanya reformasi pengadilan militer, dan lainnya.

“Artinya, tidak ada reformasi institusional di tubuh instansi asal pelaku pelanggar HAM Berat,” ujar Julius.

Berbagai hal tersebut menurut Julius ‘dicuci’ melalui komponen reparasi korban yang sebenarnya tidak dapat dipenuhi hanya dengan fasilitas dan bantuan ekonomi. Ada kesalahan sistem peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diubah tanpa putusan pengadilan, apalagi oleh tim berbasis Keppres dan Inpres saja.

Misalnya, korban tragedi genosida tahun 1965, harus ada penggalian jenasah korban. Nah, untuk penggalian jenazah korban harus terdapat payung hukumnya. Terlebih lagi, ada ‘udang di balik batu’ yang mencoba memecah belah sikap dan posisi korban dengan mengedepankan ‘situasi keterdesakan’, sehingga akan terjadi segregasi di antara korban.

Tags:

Berita Terkait