Menkopolhukam: Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Fokus Pada Korban
Terbaru

Menkopolhukam: Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Fokus Pada Korban

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terkait dengan pelakunya masuk ranah penyelesaian yudisial yang diputus Komnas HAM dan DPR.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Menkopolhukam Moh Mahfud MD. Foto: RES
Menkopolhukam Moh Mahfud MD. Foto: RES

Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) telah menyampaikan laporan akhir kepada Presiden Joko Widodo. Tindaklanjutnya, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Beleid itu intinya memerintahkan kementerian/lembaga menindaklanjuti rekomendasi Tim PPHAM. Pemerintah juga menerbitkan Keppres No.4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksana Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.

Pelaksanaan rekomendasi Tim PPHAM terus diupayakan pemerintah. Hal itu dapat dilihat dari rapat terbatas (Ratas) tentang Pelaksanaan Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Ratas itu dipimpin langsung Presiden Jokowi di kantor Presiden, Selasa (02/05/2023) kemarin. Usai mengikuti Ratas, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, M Mahfud MD, mengatakan rapat itu dihadiri 19 Menteri, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kapolri, dan kepala lembaga terkait.

Ratas itu membahas antara lain tindak lanjut atas rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Tentu saja basis data pelanggaran HAM berat itu sebagaimana yang telah ditetapkan Komnas HAM. “Penyelesaian non yudisial ini menitikberatkan kepada korban dan bukan pelaku,” katanya.

Baca juga:

Mahfud menilai terkait pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu masuk ranah penyelesaian melalui mekanisme yudisial. Mekanisme itu harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Secara umum pemerintah mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Indonesia. Pemerintah menyesali terjadinya peristiwa tersebut.

“Jadi yang kita lakukan ini adalah fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang berdasar temuan Komnas HAM ada 12 peristiwa dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut UU yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM, dan Komnas HAM merekomendasikan 12 (peristiwa, red) yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu,” ujar Mahfud.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjelaskan, pemerintah berencana meluncurkan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non yudisial pada Juni di Aceh. Rencana peluncuran itu masih dalam tahap pembicaraan. “Data sudah ada sumbernya nanti akan di-crosscheck lagi. Bentuk yang akan diluncurkan sebagai bentuk penyelesaian di dalam kick off itu mungkin bentuknya adalah taman belajar atau living park tentang hak asasi,” ujarnya.

Sejak awal pembentukan Tim PPHAM ini menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Ketua PBHI, Julius Ibrani, menilai tidak ada proses seleksi yang terbuka dan transparan serta pemeriksaan terhadap latar belakang dan kapasitas anggota tim yang dibentuk melalui Keppres 4/2023. Akibatnya terjadi konflik kepentingan karena beberapa anggota tim terlibat atau pelaku pelanggaran HAM berat yang berasal dari institusi pelanggar HAM berat seperti Polri, TNI, BIN, dan lainnya.

“Ini yang sebenarnya menghalangi penyelesaian di level pengungkapan kebenaran (truth seeking), pengadilan HAM (ajudikasi) dan reformasi institusional. Sebaliknya, kebijakan ini memang berniat jahat untuk menghambat penyelesaian yang sebenarnya karena memasukkan nama dan instansi asal Pelanggar HAM,” kata Julius.

Selanjutnya Inpres 2/2023 menurut Julius mempertegas absennya pengadilan (ajudikasi) dengan menggunaan frasa ‘dugaan’ sebelum frasa ‘pelanggaran HAM berat’ pada diktum Kedua poin 17 terkait tugas Jaksa Agung dalam Inpres tersebut. Peran Jaksa Agung dalam perkara pelanggaran HAM berat harusnya melakukan penuntutan di pengadilan HAM. Ketentuan ini menegaskan proses pengadilan (ajudikasi) ditiadakan.

Begitu juga diktum Kedua poin 18 dan 19, di mana Presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri melakukan optimalisasi pendidikan dan pelatihan HAM. Padahal persoalan pelanggaran HAM berat bersifat sistematis dan terstruktur yang artinya ada kesalahan sistem dan struktur institusional dalam organisasi TNI dan Polri. Misalnya, pendekatan keamanan untuk merespon kebebasan sipil seperti demonstrasi, belum adanya reformasi pengadilan militer, dan lainnya.

“Artinya, tidak ada reformasi institusional di tubuh instansi asal pelaku pelanggar HAM Berat,” ujar Julius.

Berbagai hal tersebut menurut Julius ‘dicuci’ melalui komponen reparasi korban yang sebenarnya tidak dapat dipenuhi hanya dengan fasilitas dan bantuan ekonomi. Ada kesalahan sistem peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diubah tanpa putusan pengadilan, apalagi oleh tim berbasis Keppres dan Inpres saja.

Misalnya, korban tragedi genosida tahun 1965, harus ada penggalian jenasah korban. Nah, untuk penggalian jenazah korban harus terdapat payung hukumnya. Terlebih lagi, ada ‘udang di balik batu’ yang mencoba memecah belah sikap dan posisi korban dengan mengedepankan ‘situasi keterdesakan’, sehingga akan terjadi segregasi di antara korban.

Tags:

Berita Terkait