Menkeh: Putusan MK Tidak Bisa Dijadikan Novum
Utama

Menkeh: Putusan MK Tidak Bisa Dijadikan Novum

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan keberlakuan UU No.16 Tahun 2003 dinilai tidak bisa dijadikan novum atau bukti baru sebagai dasar pengajuan peninjauan kembali (PK) para terpidana kasus Bom Bali.

Amr
Bacaan 2 Menit

 

Tetap novum

Berbeda dengan Yusril, pengajar hukum acara pidana dari Fakultas Hukum UI, T. Nasrullah, berpendapat bahwa apapun yang terkait dengan keadaan baru itu bisa diajukan sebagai novum. Karena itu, menurut Nasrullah, perubahan hukum atau undang-undang dapat dijadikan novum.

 

"Orang dulu dipidana karena perbuatan kriminal, kemudian berubah menjadi dekriminalisasi, perbuatan pidana itu bukan lagi perbuatan pidana. Ia bisa ajukan PK dengan alasan dekriminalisasi perbuatannya. Hukum harus selalu memberikan yang menguntungkan bagi seorang pelaku kejahatan, tidak boleh membuat ia semakin sulit keadaannya," jelas Nasrullah.

 

Sebelumnya, ketika diwawancarai hukumonline, pengamat dan praktisi hukum pidana, Luhut MP Pangaribuan membenarkan bahwa putusan MK dapat dijadikan sebagai novum untuk mengajukan PK. Pasalnya, putusan MK tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP.

 

Implikasi hukum lainnya

Selanjutnya, Menkeh menegaskan bahwa putusan MK tidak mempengaruhi kasus-kasus terorisme sesudah bom Bali tanggal 18 Oktober 2002. Sedangkan terhadap kasus-kasus bom Bali yang sudah selesai disidangkan, menurutnya, tetap sah berdasarkan ketentuan dari Pasal 58 UU MK.

 

Sedangkan terhadap kasus-kasus yang masih dalam tahap persidangan dan tuntutannya belum dibacakan, menurut Yusril, maka tuntutan yang didasarkan atas UU No.15/2003 akan dikesampingkan. Yang diteruskan adalah tuntutan subsidair yang didasarkan atas pasal-pasal KUHP dan pasal-pasal dari UU No.12 Tahun 1951.

 

Kemudian, terhadap kasus-kasus yang belum dilimpahkan ke pengadilan atau masih dalam tahap penyidikan, Menkeh menjelaskan bahwa ketentuan UU No.15 Tahun 2003 akan dikesampingkan sama sekali dan akan menggunakan pasal-pasal KUHP dan UU No.12 Tahun 1951. Kedua undang-undang itu, katanya, akan digunakan sekalipun ada kelemahan dan kekurangannya.

 

Namun, yang paling menyulitkan pemerintah adalah karena KUHP dan UU No.12 Tahun 1951 tidak dapat menjerat mereka yang tidak terlibat langsung dengan kasus bom Bali. Artinya, kedua undang-undang itu tidak mengatur soal networking yakni mereka yang mengetahui pelaku terorisme tapi tidak melaporkan, atau orang yang menyembunyikan atau melindungi mereka yang terkait dengan terorisme.

Halaman Selanjutnya:
Tags: