Menjerat Antasari
Oleh: Bobby R. Manalu *)

Menjerat Antasari

Kasus pidana yang melibatkan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar (AA) terus menjadi topik pembicaraan paling hangat di media massa. Tidak tanggung-tanggung, walaupun diliputi perasaan setengah percaya tidak percaya, kali ini aparat kepolisian membidiknya sebagai dalang atau aktor intelektual pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen.

Bacaan 2 Menit

 

Persoalannya adalah orang-orang tersebut juga berkedudukan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan yang sama. Jika mereka memberikan keterangan sebagai saksi atas AA mereka dikategorikan sebagai saksi mahkota (tidak dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia), walaupun memang kedudukan mereka sebagai tersangka bukanlah dalam satu berkas pemeriksaan/penuntutan yang sama (dipecah-pecah/split). Namun mengingat yurisprudensi MA dalam perkara kematian buruh marsinah, yang menyebutkan bahwa Saksi Mahkota adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dan oleh karenanya kesaksiannya patut ditolak, Belum lagi kalau diantara para terdakwa (AA, SHW, WW) sudah merancang skenario bahwa mereka tidak pernah berencana membunuh Nasrudin, maka tugas kepolisan dan kejaksaan akan semakin berat.

 

Pihak Kepolisian harus bekerja keras untuk ini. Keterangan-keterangan yang disampaikan dalam jumpa pers masih sebatas cerita tanpa (alat) bukti yang kuat. Itu artinya cerita tersebut tidak bernilai dimuka proses pencarian kebenaran materiil. Tanpa alat bukti yang kuat, tentu saja peran AA sebagai aktor intelektual tidak dapat dibuktikan. Lebih jauh lagi, AA bisa saja dinyatakan tidak bersalah secara meyakinkan atau tidak terlibat atas kasus pembunuhan Nasrudin.

 

Pemberantasan Korupsi

Terlepas dari bersalah dan tidak bersalahnya AA dalam kasus ini, tentu agenda pemberantasan korupsi jangan sampai terganggu. Tindakan SBY yang telah menandatangani surat penghentian sementara AA sebagai pimpinan KPK sudah tepat sebagaimana yang diatur dalam UU KPK. Kesepakatan empat komisioner yang untuk sementara secara bersama-sama menggantikan tugas AA sebagai pimpinan KPK juga harus diapresiasi sebagai langkah maju yang menegaskan bahwa AA bukanlah personifikasi dari KPK. KPK harus tetap konsisten membongkar kasus mafia korupsi di negeri ini. Jangan sampai KPK kemudian ada anggapan, karena AA terlibat kasus ini, KPK kemudian dianggap sama bermasalahnya seperti lembaga penegak hukum lainnya di mata publik.

 

Sementara kasus ini terus menggelinding, ada dua catatan penting yang seharusnya mendapat fokus lebih daripada sekedar mengikuti detail pemeriksaan AA. Pertama. semua pihak, khususnya DPR sebaiknya segera merampungkan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang sudah hampir mencapai tenggat waktu. Jangan hanya sibuk mempersoalkan hal-hal yang tidak penting, yakni soal kesepakatan keempat pimpinan KPK menggantikan posisi AA. Kegagalan pembentukan UU Pengadilan Tipikor oleh DPR, yang secara otomoatis mengakibatkan rentannya keberadaan KPK, merupakan alarm bencana bagi agenda pemberantasan Korupsi. Kegagalan ini juga menjelaskan kepada publik, bahwa DPR masih merupakan sarang korupsi

 

Catatan penting kedua adalah adanya urgensi untuk segera memperbaiki proses rekrutmen pejabat publik. Apabila AA nantinya terbukti bersalah, tentu perlu dilakukan seleksi untuk mengisi kekosongan bangku yang ditinggalkannya. Namun untuk mengisinya, sangat perlu difikirkan agar tidak melibatkan DPR. Melihat keberadaan DPR yang masih berperan sebagai sarang korupsi, tentulah kualitas seleksi di DPR sangat mengkhawatirkan.

 

Bagaimana DPR bisa diharapkan bisa memilih orang yang tepat untuk memberantas korupsi apabila DPR masih berfungsi sebagai sarang korupsi. Sebagai indikasi kegagalan DPR, ada banyak pejabat publik yang terlibat kasus pidana seperti Mulyana W. Kusumah, Nazarudin Sjamsudin, Rusadi Kantaprawira, Irawady Joenoes, Mohammad Iqbal, dan juga tidak menutup kemungkinan Antasari Azhar yang memang pada saat proses perekrutan yang memakan biaya besar sudah mendapat penolakan keras dari publik, namun diabaikan begitu saja oleh DPR.

 

--------

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kini bekerja sebagai praktisi hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Tags: