Menjerat Antasari
Oleh: Bobby R. Manalu *)

Menjerat Antasari

Kasus pidana yang melibatkan Ketua KPK non aktif Antasari Azhar (AA) terus menjadi topik pembicaraan paling hangat di media massa. Tidak tanggung-tanggung, walaupun diliputi perasaan setengah percaya tidak percaya, kali ini aparat kepolisian membidiknya sebagai dalang atau aktor intelektual pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen.

Bacaan 2 Menit

 

Dengan menggunakan optik teori hukum dalam mencermati kasus ini, apabila kepolisian hanya bermodalkan sms bernada ancaman dan katakanlah adanya video mesum AA, foto-foto pertemuan, video pertemuan, maka gembar-gembor AA sebagai aktor intelektual, terlepas dari apa motif untuk melakukan perbuatan tersebut sebenarnya masih terlalu dini untuk disampaikan. Lagipula yang paling berhak menentukan status seseorang sebagai aktor intelektual dalam suatu delik adalah hakim.

 

Aktor Intelektual dalam Hukum Pidana

Bagi seluruh aparat penegak hukum: pihak Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukum, hingga Hakim pemutus perkara nantinya, benar atau tidaknya seorang sebagai aktor intelektual, maka hal yang paling signifikan untuk dibuktikan nantinya, yakni pemenuhan atas syarat-syarat yang dipergunakan untuk menentukan seseorang sebagai seorang aktor intelektual. Dalam hukum pidana, khususnya teori penyertaan, seorang aktor intelektual biasanya disebut sebagai pembuat penganjur (uitlokker). Sangat tidak mudah membuktikan bahwa seseorang adalah aktor intelektual dalam delik pidana, setidaknya ada empat syarat kumulatif dalam teori hukum pidana yang harus dipenuhi untuk mendudukkan seseorang sebagai seorang aktor intelektual.

 

Pertama, adanya kesengajaan dari si aktor intelektual yang ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran terhadap orang lain untuk mewujudkan perbuatan yang dianjurkan. Pihak kepolisan dan penuntut umum harus bisa membuktikan bahwa AA memang benar-benar menghendaki/bermaksud membunuh korban. Untuk mewujudkan maksudnya tersebut, pelaku menggerakkan orang lain untuk melakukan pembunuhan. Membuktikan ini terntu bukan perkara mudah, sangat terbuka berbagai kemungkinan, katakanlah dalam kasus ini, maksud AA sebenarnya hanya untuk melakukan suatu tindakan penganiayaan ringan sebagai bentuk keseriusan ancaman. Namun secara operasional maksud itu kemudian diterjemahkan berbeda oleh SHW, WW dan para eksekutor secara berbeda, yakni melakukan pembunuhan. Apalagi kalau sebaliknya, ternyata AA tidak pernah bermaksud membunuh. Kalau demikian ceritanya, tentu sangkaan aktor intelektual pembunuhan berencana terancam gugur

 

Kedua, dalam melakukan perbuatan pembujukan, harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP. Pihak kepolisian dan penuntut umum harus bisa membuktikan bahwa AA menganjurkan/memerintahkan SHW, WW, dan eksekutor untuk melakukan pembunuhan setelah sebelumnya terlebih dahulu memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu kepada orang-orang tersebut. Atau bisa juga AA memaksa SHW, WW dan eksekutor dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya, dengan menggunakan kekerasan, dengan menggunakan ancaman, dengan menggunakan penyesatan, kesempatan, sarana ataupun keterangan. Membuktikan seseorang berjanji kepada pihak lain tanpa ada catatan tertulis; mengancam lisan SHW, WW, eksekutor tentulah tentu tugas yang maha berat bagi kepolisian.

 

Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (eksekutor) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si aktor intelektual. Syarat ini membutuhkan pembuktian berupa fakta bahwa inisiatif pembunuhan selalu dan pasti berasal dari si aktor intelektual, dan si eksekutor melakukan pembunuhan hanya karena misalnya dijanjikan sesuatu. Di sini harus ada hubungan sebab akibat (kausalitas) yang jelas antara aktor intelektual dengan eksekutor. Pihak kepolisian harus bisa membuktikan bahwa SHW, WW dan eksekutor melakukan tindakan pembunuhan karena perintah AA yang disertai dengan pemberian janji (atau cara-cara lainnya). Keterangan kuasa hukum eksekutor menyebutkan bahwa para eksekutor melakukan tugas pembunuhan karena menganggap bahwa itu adalah tugas negara. Anggapan para eksekutor tersebut karena yang memerintahkan adalah seorang polisi. Ditambah yang memberikan biaya operasinal kepada mereka adalah seseorang yang berpakaian dinas mirip polisi dan menggunakan mobil patroli. Bagaimana membuktikan kausalitas antara kehendak yang terbentuk dalam pikiran para eksekutor dengan anjuran AA? Tentu bukan perkara mudah.

 

Keempat, orang yang dianjurkan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dari keempat syarat ini, inilah yang cukup mudah dipenuhi. Selama jiwa para eksekutor sehat dan waras, tentulah para eksekutor dapat dibuktikan kesalahannya dan kemudian dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan penembakan yang mengakibatkan kematian terhadap Nasrudin.

 

Inti dari  persyaratan-persyaratan untuk menjerat AA sebagai aktor intelektual, harus benar-benar bisa dibuktikan melalui alat bukti yang kuat bahwa ada kausalitas antara perintah/bujukan/permintaan pembunuhan AA dengan kehendak para pelaku pembunuhan, bahwa mereka benar-benar membunuh karena bujukan AA, disertai dengan adanya iming-iming tertentu. Dalam perkara pidana, saksi merupakan kunci pembuka kotak pandora, untuk kasus ini saksi kunci adalah SHW, WW termasuk juga eksekutor.

Tags: