Menimbang Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Digital di Tengah Pandemi
Terbaru

Menimbang Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Digital di Tengah Pandemi

Pengenaan pajak digital Indonesia dianggap membebani bisnis perusahaan asing. Keberatan ini sangat beralasan karena di level global belum ada kesepakatan multilateral yang menaungi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

“Peraturan-peraturan ini memberikan kerangka kerja untuk penyelenggaraan ekonomi digital terutama ketika pandemi Covid-19 mendorong pemerintah untuk menargetkan potensi fiskal dari pasar digital yang sedang berkembang dalam mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional. Hanya saja dalam teknisnya masih perlu untuk terus dipantau dan dievaluasi bersama,” jelasnya.

Adanya potensi fiskal dari pasar digital tentu tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia. Ketika pandemi dimulai pada 2020 lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi tugas menutup biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Indonesia yang mencapai hingga Rp 579,8 triliun atau setara dengan USD 42 miliar. Awalnya pemerintah telah menganggarkan Rp 695 triliun, yang merupakan 40 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat tahun 2020.  

Sejak 16 Mei 2020, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 mengenakan pajak pada transaksi elektronik OTT.

Pajak ini dikenakan kepada penyedia layanan asing dan pedagang asing yang beroperasi melalui sistem elektronik atau biasa disebut Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan juga kepada perusahaan yang belum berupa Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pajak yang dimaksud adalah pajak penghasilan badan yang dikenakan pada penyedia jasa asing, dan juga pajak pertambahan nilai (PPN) tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi transaksi elektronik OTT di Indonesia. 

PPN atas transaksi PMSE diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020 dan turunannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2020 yang menetapkan besaran 10% untuk dikumpulkan dan disetorkan oleh perusahaan dengan sistem elektronik dengan kriteria tertentu mulai bulan Agustus 2020. Kriteria tersebut yaitu berdasarkan nilai transaksi dengan minimal Rp600 juta dan jumlah traffic atau akses di Indonesia sebesar minimal 12.000 per tahun. Hal ini mengundang debat terutama dari perusahaan sistem online luar negeri yang beroperasi di Indonesia.

Namun, Pingkan menjelaskan pengenaan pajak digital secara mandiri dan bersifat unilateral ini mendapatkan reaksi negatif dari negara lain seperti Amerika Serikat karena beberapa perusahaan besar yang berasal dari sana, seperti Netflix, Google dan Amazon beroperasi di Indonesia.

“Pengenaan pajak digital Indonesia dianggap membebani bagi bisnis mereka. Keberatan ini sangat beralasan karena di level global belum ada kesepakatan multilateral yang menaungi sehingga perlu dijadikan sebuah masukan mempertimbangkan hubungan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara lain yang juga memiliki keberatan yang sama,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait