Mengurai Sengkarut Penanganan Perkara Koneksitas
Kolom

Mengurai Sengkarut Penanganan Perkara Koneksitas

KUHAP sudah mengatur secara gamblang perkara yang melibatkan subjek hukum sipil dan militer secara bersama diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 dan disebut sebagai perkara koneksitas.

Bacaan 6 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya, Letkol Arif Budi Cahyanto menimbulkan polemik baru dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ihwal tindakan pro yustisia yang dilakukan KPK itu menuai protes dari Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko.

Rupanya, OTT KPK tersebut tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Walhasil, secara tidak langsung sempat terjadi silang pendapat kewenangan mengenai siapakah lembaga yang lebih berwenang menangani kasus korupsi yang ditengarai melibatkan orang nomor satu di Basarnas.

Kendati akhirnya KPK menyerahkan tersangka yang berlatar belakang militer kepada TNI, sementara tersangka non militer tetap ditangani KPK, namun penanganan perkara bakal diproses secara paralel. Di mana, tersangka dari kalangan militer bakal diadili di peradilan militer. Sementara tersangka dari sipil bakal diadili di peradilan umum, khususnya pengadilan tindak pidana korups (Tipikor).

Baca juga:

Silang pendapat di tengah publik soal peradilan umum atau militer yang bakal menangani perkara orang nomor satu di Basarnas sempat terjadi. Seperti halnya sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum (LBH) menilai, KPK berwenang memeriksa Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letkol Arif Budi Cahyanto, meski keduanya berstatus anggota TNI aktif. Henri dan Arif terlibat dalam kasus suap dalam pengurusan proyek pengadaan barang di Basarnas. 

Sebut saja Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurutnya, KPK dapat menggunakan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 yang mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, sama di hadapan hukum. Dia menilai, KPK dapat menggunakan Pasal 65 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan mengesampingkan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Mantan koordinator Kontras itu menekankan isi Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 yang menyebutkan, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Karenanya Usman menilai KPK berwenang menangani kasus suap Kepala Basarnas tersebut lantaran bukan masuk kategori pidana militer.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait