“Apakah MK sebenarnya berfungsi sebagai positif legislator (pembentuk UU) atau negatif legislator? Sebab, MK seolah bisa membuat peraturan (norma) baru dalam UU melalui putusannya,” kata Jimmy.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar mengatakan model putusan konstitusional bersyarat dan konstitusional bersyarat sering digunakan MK sejak lama. Namun, terkadang penerapan model putusan bersyarat ini tidak tepat diterjemahkan dalam praktik.
“Misalnya, putusan MK menjadi konstitusional jika dilakukan X, tapi ternyata jika dilakukan Y menjadi inkonstitusional. Jika seperti ini, MK tidak dapat berbuat apa-apa. Makanya, model putusan seperti ini seringkali diuji kembali,” kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.
Sementara itu, Meirina Fajarwati, Perancang Peraturan Perundang-undangan Badan Keahlian DPR RI, dalam kajian berjudul Problematika dalam Putusan Konstitusional Bersyarat Mahkamah Konstitusi, menilai bahwa meskipun dalam rangka untuk mengisi kekosongan hukum dan sebagai bentuk dari diskresi yang dapat dilakukan hakim dalam memutus suatu permasalahan, jenis putusan konstitusional bersyarat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Dalam pendapat yang dimuat dalam Jurnal Rechtsvinding terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional tersebut, Meirina beralasan, putusan konstitusional bersyarat tidak ada landasan hukumnya dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2011. Dia selanjutnya berpendapat; “Agar putusan konstitusional bersyarat mahkamah konstitusi (sic) memiliki dasar hukum maka perlu dilakukan revisi UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.”