Perjalanan politik Indonesia terutama pasca reformasi bergulir hingga saat ini memang sangat luar biasa. Kehebohan para peserta kontestasi dan para pendukungnya dalam berbagai level bahkan terlihat sangat reaktif dan agak mengkhawatirkan apalagi ketika menyentuh isu SARA. Dari berbagai diskursus politik jelang 2019, etika semestinya memegang peranan penyeimbang di tengah-tengah prosesi dinamika politik.
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Agun Gunanjar Sudarsa menilai geliat politik terutama jelang 2019, banyak sekali diskursus-diskursus seputar pileg.Terutama Pemilihan Presiden (Pikpres) yang terjebak dalam. Bahkan semakin lama kian membuat rakyat tidak bertambah cerdas untuk menentukan pilihan-pilihan.
Suasana kian panas jelang tahun politik dengan berbagai kegaduhan. Antara lain fenomena saling sindir. Walhasil, keluar verbal-verbal seperti ‘sontoloyo’, ‘genderuwo’, tampang boyolali, dan lainnya.
“Dan, situasi tersebut sangat mengkhawatirkan,” ujar Agun , dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema ‘Etika Politik Pilpres’ kerjasama Humas MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen, di Komplek Gedung Parlemen, Senayan, Jumat (16/11).
Agun berpandangan sepanjang tahun politik bangsa Indonesia sudah berada dalam banyak sekali diskursus-diskursus yang tidak ada manfaatnya. ironisnya, kesemuanya campur aduk sehingga tanpa disadari terjebak dalam diskursus yang tidak mendidik. “Saya pribadi sangat menghindari diskursus seperti itu. Etika memang menjadi sesuatu yang penting dalam kerumitan tersebut,” katanya.
Namun, Agun yang tercatat sebagai anggota Komisi III DPR itu menilai tidak lantas menyalahkan para kontestan Pilpres 2019. Hal tersebut merupakan merupakan hasil atau output dari fenomena perjalanan politik di perkembangan akhir-akhir pasca reformasi ini yang tanpa bangsa ini sadari.
“Dan kita semua elemen bangsa ikut salah, termasuk para elit politik, ya kita semua. Ini yang harus dipahami dan disadari bahwa etika dalam berpolitik memang harus disandingkan,” ujarnya.