Menguji Konstitusionalitas Batas Waktu PKWT dalam UU Cipta Kerja
Terbaru

Menguji Konstitusionalitas Batas Waktu PKWT dalam UU Cipta Kerja

Pemohon minta agar Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali."

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit

Pemohon menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK).

“Membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, Pemohon menegaskan dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon,” demikian sebagian bunyi permohonan.

Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”

Saran majelis

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo mengatakan meskipun Pemohon menekankan pandangan yang dibidik adalah kerugian potensial, tetapi harus tetap diberikan penguatan argumentasi kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal itu. “Menurut saya, lebih baik beri argumen lain atau data lain yang faktual bahwa Saudara memang mempunyai keterkaitan erat dengan Pasal 56 ayat (3) itu. Atau mencari Pemohon lain yang bisa diajak kolaborasi penguatan kedudukan itu,” saran Suhartoyo.

Sementara itu, Ketua Majelis Panel M. Guntur Hamzah menjelaskan MK dalam berbagai putusan sudah beberapa kali menguji persoalan seperti yang diajukan Pemohon. “Jadi hendaknya Anda memperkuat, ada 1 putusan MK yang saya pikir sangat dekat dengan permohonan Saudara, tetapi saya tidak melihat di permohonan Saudara Putusan Nomor 27/2011. Memang putusan itu berbicara outsourching, tetapi itu ada kaitannya dengan PKWT dan PKWTT. Di situ mungkin ada titik singgung prinsip meski bukan case yang sama, tetapi ada titik singgung yang sama,” kata Guntur menyarankan.

Tags:

Berita Terkait