Mengkritisi Revisi UU Pemda dari Ilmu Perundang-undangan
Fokus

Mengkritisi Revisi UU Pemda dari Ilmu Perundang-undangan

Sekali lagi, DPR melahirkan produk yang bermasalah. Paradigma ‘selama kepentingan partai politik aman' lagi-lagi jadi biang keladinya. Judicial review ke MK, sepertinya hanya menunggu waktu.

Ali/Rzk/Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Jauh-jauh hari, Refly sudah mengingatkan agar revisi UU Pemda sebaiknya menghilangkan peran regulasi pemerintah dalam Pilkada. Keempat pasal tersebut masih meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana. Padahal, bila Pilkada sudah beralih ke rezim Pemilu, PP tersebut mutlak tak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yang diminta oleh UU Penyelenggara Pemilu.

 

Anggota KPU I Gusti Putu Artha mengatakan bila keempat Pasal ini tak diubah, maka akan muncul kesan KPU menjadi subordinasi dari eksekutif. Karenanya, Putu Artha menilai pemerintah belum ikhlas melepas Pilkada kepada KPU. Revisinya pun terkesan setengah hati.

 

Namun, pendapat Refly dan Putu Artha memang hanya mengacu pada hasrat paripurnanya perpindahan pilkada ke rezim Pemilu. Bila dilihat bersudut pandang konstitusi, maka tak diubahnya keempat pasal ini bukanlah soal yang diributkannya. Dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-PUU-II/2004, MK menilai digunakannya PP atau Peraturan KPU sebagai instrumen pelaksana hanyalah sebuah pilihan politik. Sehingga, penggunaan salah satu di antaranya tak berujung pada inkonstitusionalitasnya pasal tersebut. 

 

Potongan putusan itu adalah .......kewenangan pemerintah dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung bukan karena kehendak Pemerintah sendiri tetapi karena perintah undang-undang. Sekiranya pembentuk undang-undang memberikan kewenangan semacam itu kepada lembaga lain in casu KPU, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

Sebenarnya, selain persoalan-persoalan di atas masih banyak kelemahan-kelemahan revisi UU Pemda yang disindir Hadar sebagai program kejar tayang DPR ini. Di antaranya adalah ancaman kehilangan hak politik seumur hidup bagi calon perorangan yang mundur di tengah jalan. Ancaman sanksi menghilangkan hak politik seumur hidup ini tak hanya dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), tapi juga mirip perlakuan orde baru terhadap mantan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) beberapa waktu lalu. 

 

Revisi UU Pemda dengan segala permasalahannya lagi-lagi menjadi produk DPR yang menambah ‘beban kerjaan' para penjaga konstitusi.

Tags: