Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas
Berita

Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas

Dalam memori kasasinya, Syafruddin melalui para kuasa hukumnya menyebut kasus ini ranah perdata atau administrasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Selanjutnya, pada 25 Mei 1999, BPPN dan Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajiban MSAA-BDNI. Karena  itu, diberikan dua surat yaitu Shareholders Loan Release dan Liquidity Support Release yang intinya kewajibannya  sudah selesai dan diberikan pelepasan (release) dan pernbebasan (discharge). Hal ini telah dikuatkan dengan akta Letter of Statement berupa Akta Notaris No. 48 di hadapan Notaris Merryana Suryana, SH pada tanggal 25 Mei 1999.

 

"Judex factie tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan di PN Jakarta Pusat yaitu Prof Nindyo Pramono, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sebagaimana telah diuraikan Ahli dalam persidangan yang terekam dalam Berita Acara Persidangan," terang TKH dalam memori kasasi. 

 

Penjelasan Prof Nindyo saat itu pada pokoknya menerangkan dalam Perjanjian Perdata seperti MSAA-BDNI, harus merujuk pada Hukum Perdata yaitu Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, perjanjian tidak boleh dibatalkan atau diubah sepihak, harus dengan persetujuan para pihak. Apabila ada klaim kurang bayar, pemerintah/Menteri Keuangan kembali menagih kepada Sjamsul. Apabila Sjamsul tidak mau membayar, maka Pemerintah dapat mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri.

 

Dua ahli lain yaitu ahli pidana Prof Andi Hamzah dan Eva Ahyani Zulfa. Pada pokoknya Andi berpendapat pemerintah dan aparat penegak hukum (Penuntut Umum KPK) seharusnya mendahulukan upaya hukum perdata, dengan menagih terlebih dahulu kepada Sjamsul. Kalau tidak mau membayar, baru bisa digugat ke pengadilan perdata. Setelah semua  dilakukan dan tidak berhasil sebagai upaya terakhir baru dilakukan tuntutan pidana.  

 

Sementara Eva Ahyani Zulfa menilai mekanisme penyelesaian perdata didahulukan, mekanisme penyelesaian administrasi dilakukan untuk menentukan apakah unsur melawan hukum  bisa terpenuhi  atau  tidak. Karena dalam hukum pidana, satu unsur saja tidak terpenuhi sesungguhnya tidak bisa kemudian mengatakan ada peristiwa tindak pidana. 

 

"Jadi bukan semata-mata argumentasi ultimum remedium sebagai senjata (upaya) terakhir, tetapi kepentingan pembuktian mengharuskan mekanisme itu (perdata dan administrasi) dijalankan lebih dahulu," terang Eva yang sebagaimana tertuang dalam memori kasasi. 

 

Administrasi

TPH Syafruddin juga beranggapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak berwenang atau melampaui batas wewenang mengadili karena perkara ini. Sebab, perbuatan hukum Syafruddin dalam proses pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) merupakan tindakan administrasi negara dan apabila terjadi kesalahan harus diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tags:

Berita Terkait