Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas
Berita

Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas

Dalam memori kasasinya, Syafruddin melalui para kuasa hukumnya menyebut kasus ini ranah perdata atau administrasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Syafruddin diangkat sebagai Ketua BPPN oleh Presiden RI berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 73/M tahun 2002 tanggal 22 April 2002 (Keppres No. 73/22 April 2002) yang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab BPPN didasarkan pada Pasal 37A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2001.

 

Bagi TPH, majelis tingkat pertama dan banding tidak mempertimbangkan dalam pemberian Sura PKPS yang dilakukan Syafruddin pada saat menjadi Ketua BPPN didasarkan atas kewenangannya yang diatur Pasal 37A UU Perbankan. Oleh karena itu, Ketua BPPN menjalankan peraturan perundang-undangan sebagai badan pejabat tata usaha negara. 

 

Tindakan itu merupakan kewenangan delegasi atas perintah Presiden RI sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

 

Hal ini ada pada diktum kedua yang berbunyi, "Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA angka 1, dilakukan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara."

 

Mengutip keterangan ahli Prof I Gede Pantja Astawa telah dijelaskan yang pada pokoknya menjelaskan sebagaimana diuraikan Ahli yang terekam dalam Berita Acara Persidangan. “Apabila Ketua BPPN dalam konteks melakukan perjanjian perdata, ketika menerbitkan SKL terdapat kesalahan, tanggung jawabnya itu tanggung jawab administrasi negara dan  tanggung jawab perdata. Suatu tindakan administrasi negara dalam bentuk apapun, surat, keputusan, atau tindakan harus dianggap benar menurut hukum dan menjamin satu kepastian. Jadi, setiap tindakan atau keputusan yang diambil oleh Pejabat Publik, tidak untuk diubah.

 

“Untuk menjamin adanya kepastian hukum, manakala di kemudian hari ternyata ada kekeliruan, kesalahan dan sebagainya, disitulah muncul asas dia yang menerbitkan, dia yang membatalkan. Dia yang mencabut, dia yang menyempurnakan. Atau kalau dipersoalkan secara administratif, pengadilan yang membatalkan. Dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara."

 

TPH juga mengutip keterangan ahli hukum administrasi negara dan keuangan negara, Dian Puji Simatupang yang mengatakan dalam hal pimpinan BPPN, mengambil tindakan hukum administrasi yang dimilikinya, itu sesuai kewenangannya, tapi kemudian dianggap tindakan itu mengandung kesalahan atau diduga menanggung kesalahan.

Tags:

Berita Terkait