Mengintip Dissenting Wahiduddin Adams dalam Putusan Uji Formil UU KPK
Berita

Mengintip Dissenting Wahiduddin Adams dalam Putusan Uji Formil UU KPK

“Saya ber-ijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini yaitu menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, secara konseptual, ruang lingkup pengujian formil pembentukan UU terhadap UUD ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyebutkan “Pengujian formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.”

“Pengujian formil sejatinya sangat penting guna mengendalikan praktek pembentukan hukum (khususnya undang-undang) agar mengikuti dengan ketat seluruh aturan dan arahan yang sudah ditentukan dalam norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945,” dalihnya.

Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR, maka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. “Dengan diperolehnya fakta dari keterangan Pembentuk UU bahwa Raker pertama dilaksanakan tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.”

“Akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden (beserta supporting system yang ada di dalamnya) secara luar biasa ini jelas menyebabkan minimnya masukan masyarakat secara tulus dan berjenjang (bottom up) dan dari para supporting system baik Presiden, DPR, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU ini (in casu KPK),” tuturnya.   

Padahal, Pasal 92 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut “Pandangan dan Pendapat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal RUU diterima Presiden.”

“Saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apapun yang dapat diterima oleh common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM RUU kurang dari 24 jam. Padahal jangka waktu yang dimiliki Presiden melaksanakan itu paling lama 60 hari.”  

Lalu, Wahiduddin menawarkan beberapa opsi untuk memutuskan pengujian UU KPK ini. Pertama, mempertahankan UU KPK dengan menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon. Kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa materi (bahkan banyak) dalam UU KPK dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, khususnya para Pemohon uji materil agar UU KPK menjadi terjamin konstitusionalitasnya. Ketiga, opsi kembali kepada UU No. 30 Tahun 2002 sebelum perubahan dan dengan menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya ber-ijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini yaitu menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” simpulnya.  

Menurutnya, ijtihad ini berdasarkan argumentasi agar pembentuk UU dapat mengulang proses pembentukan UU mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional. Pilihan koridor pertama tidak mungkin dipilihnya karena begitu terang benderangnya pelanggaran konstitusi yang terjadi dalam pembentukan UU KPK ini baik dalam aspek formil maupun beberapa aspek materilnya.

“Sedangkan pilihan koridor kedua hanya akan menyebabkan pengaturan KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU No. 30 Tahun 2002 jo UU No. 19 Tahun 2019 semakin compang-camping dan Mahkamah dapat berpotensi dinilai justru tergelincir berubah fungsi untuk melakukan Legislatory on Governing from the Bench. Atau bahkan Mahkamah akan dicatat sejarah telah menjadi apa yang dikhawatirkan oleh Richard A Posner (2006) sebagai The Judge as Occasional Legislator dalam bentuk yang paling ekstrem.”

Tags:

Berita Terkait