Mengintip Dissenting Wahiduddin Adams dalam Putusan Uji Formil UU KPK
Berita

Mengintip Dissenting Wahiduddin Adams dalam Putusan Uji Formil UU KPK

“Saya ber-ijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini yaitu menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Suasana sidang pembacaan sejumlah putusan pengujian UU KPK digelar secara daring dan luring di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES
Suasana sidang pembacaan sejumlah putusan pengujian UU KPK digelar secara daring dan luring di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan mantan Pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, dkk. Dalam Putusan No. 79/PUU-XVII/2019 yang dibacakan Selasa (4/5/2021) kemarin, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). 

Beda sikap dengan 8 Hakim Konstitusi lain, Wahiduddin menganggap seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan membatalkan keseluruhan UU No. 19 Tahun 2019 dan kembali ke UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam pertimbangannya, Wahiduddin menilai beberapa perubahan dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan momentum spesifik yakni Hasil Pemilu 2019 telah diketahui. Lalu, mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden untuk disahkan Presiden menjadi UU hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019 dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.

“Momentum spesifik ini mengundang pertanyaan besar? memang tidak secara langsung menyebabkan UU ini inkonstitusional. Tapi, singkatnya waktu pembentukan UU ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat,” demikian pandangan Wahiduddin dalam pertimbangan putusan ini. (Baca Juga: Uji Formil UU KPK Ditolak, Hakim MK Ini Dissenting)

Selain itu, tidak sinkronnya antara Naskah Akademik yang cenderung berorientasi pada pembentukan Undang-Undang perubahan KPK dan RUU KPK yang sejak awal ternyata telah berorientasi membentuk sebuah UU baru tentang KPK. Hal ini menunjukkan UU ini telah terjadi disorientasi arah pengaturan mengenai kelembagaan KPK serta upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Akumulasi berbagai kondisi tersebut, menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU KPK ini.

Jaminan konstitusionalitasnya pembentukan suatu Undang-Undang tidaklah semata-mata hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 5, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD UUD NRI Tahun 1945, melainkan wajib didasarkan pula pada Staatsidee berdasarkan kearifan asli bangsa Indonesia serta pasal-pasal terkait lain dalam UUD NRI Tahun 1945 yang selama ini umumnya lazim digunakan sebagai dasar (batu uji, red) dalam pengujian UU secara materiil.

“Mencermati secara seksama berbagai aspek formil terkait prosedur pembentukan UU KPK ini, saya meyakini dan berpendirian seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang telah ditempuh oleh Pembentuk UU. Namun, yang sejatinya terjadi adalah hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan UU a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius,” bebernya.

Menurutnya, secara konseptual, ruang lingkup pengujian formil pembentukan UU terhadap UUD ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyebutkan “Pengujian formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.”

“Pengujian formil sejatinya sangat penting guna mengendalikan praktek pembentukan hukum (khususnya undang-undang) agar mengikuti dengan ketat seluruh aturan dan arahan yang sudah ditentukan dalam norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945,” dalihnya.

Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR, maka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. “Dengan diperolehnya fakta dari keterangan Pembentuk UU bahwa Raker pertama dilaksanakan tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.”

“Akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden (beserta supporting system yang ada di dalamnya) secara luar biasa ini jelas menyebabkan minimnya masukan masyarakat secara tulus dan berjenjang (bottom up) dan dari para supporting system baik Presiden, DPR, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU ini (in casu KPK),” tuturnya.   

Padahal, Pasal 92 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut “Pandangan dan Pendapat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal RUU diterima Presiden.”

“Saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apapun yang dapat diterima oleh common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM RUU kurang dari 24 jam. Padahal jangka waktu yang dimiliki Presiden melaksanakan itu paling lama 60 hari.”  

Lalu, Wahiduddin menawarkan beberapa opsi untuk memutuskan pengujian UU KPK ini. Pertama, mempertahankan UU KPK dengan menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon. Kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa materi (bahkan banyak) dalam UU KPK dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, khususnya para Pemohon uji materil agar UU KPK menjadi terjamin konstitusionalitasnya. Ketiga, opsi kembali kepada UU No. 30 Tahun 2002 sebelum perubahan dan dengan menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya ber-ijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini yaitu menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” simpulnya.  

Menurutnya, ijtihad ini berdasarkan argumentasi agar pembentuk UU dapat mengulang proses pembentukan UU mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional. Pilihan koridor pertama tidak mungkin dipilihnya karena begitu terang benderangnya pelanggaran konstitusi yang terjadi dalam pembentukan UU KPK ini baik dalam aspek formil maupun beberapa aspek materilnya.

“Sedangkan pilihan koridor kedua hanya akan menyebabkan pengaturan KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU No. 30 Tahun 2002 jo UU No. 19 Tahun 2019 semakin compang-camping dan Mahkamah dapat berpotensi dinilai justru tergelincir berubah fungsi untuk melakukan Legislatory on Governing from the Bench. Atau bahkan Mahkamah akan dicatat sejarah telah menjadi apa yang dikhawatirkan oleh Richard A Posner (2006) sebagai The Judge as Occasional Legislator dalam bentuk yang paling ekstrem.”

Tags:

Berita Terkait