Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan
Oleh: Imam Nasima *)

Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan

Perdebatan mengenai hak buruh dalam proses kepailitan yang bersumber dari permohonan uji konstitusionalitas yang diajukan serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), barangkali masih lekat di telinga kita.

Bacaan 2 Menit

 

Kalau tidak ada perkecualian seperti ini, maka BHP atas nama harta pailit akan dengan mudah menghindari kemungkinan pertanggungjawaban atas materi gugatan, cukup dengan tidak menghadiri sidang. Sementara pemenuhan kewajiban yang dituntut, bersumber dari (dulunya) harta kekayaan debitor yang kemudian menjadi harta pailit.

 

Dalam hal ini terlihat adanya perlindungan yang memadai bagi hak penggugat. Memang benar bahwa gugatan yang diajukan penggugat belum tentu benar. Namun, gugatan tersebut belum tentu pula salah, bukan?

 

Apabila ketentuan tersebut dianggap merupakan sebuah ketentuan yang lapuk, karena merupakan bagian dari UU Kepailitan lama, maka ada baiknya melihat ketentuan terbaru dalam Faillissementswet yang masih berlaku di Belanda sampai saat ini (terakhir diubah pada tahun 2002 dan berlaku efektif sejak 1 januari 2003).

 

Logika yang dipakai oleh Faillissementswet tidak berbeda dengan logika yang digunakan oleh UU Kepailitan 1998. Pada intinya, penggugat berhak untuk memohon adanya penangguhan, apabila tergugat dinyatakan pailit. Penangguhan tersebut ditujukan untuk memberi kesempatan memanggil kurator (art. 28 lid 1 Faillissementswet). Kehadiran kurator akan berakibat pada tersingkirnya debitor dari perkara tersebut (lid 2). Kuratorlah (atas nama harta pailit) yang kemudian menjadi pihak yang menggantikan posisi debitor.

 

Persis seperti ketentuan di dalam UU Kepailitan 1998, pengakuan kurator akan membebaskan harta pailit dari kewajiban membayar biaya perkara (lid 3). Sebaliknya, apabila kurator tetap meneruskan perkara tersebut dan pada akhirnya dijatuhi hukuman, maka biaya perkara dan gugatan yang dikabulkan akan menjadi utang harta pailit. Begitu pula dengan ketentuan yang mengatur adanya perkecualian atas pertanggungjawaban harta pailit seperti sudah disinggung di atas tadi (pasal 27 ayat 4 UU Kepailitan/art. 28 lid 4 Faillissementswet).

 

Kesimpulannya, ketentuan dalam UU Kepailitan 1998 justru memberikan perlindungan hukum yang lebih baik dari UU Kepailitan 2004 menyangkut hak penggugat terhadap kekayaan debitor (yang kemudian) pailit, begitu pernyatan pailit diucapkan. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam posisi penggugat seperti ini untuk memperjuangkan haknya atas jaminan dan perlindungan hukum yang memadai?

 

Hak Penggugat sebagai Hak Konstitusional?

Sebagaimana sudah dituturkan di atas, ketentuan pasal 29 UU Kepailitan telah mengebiri hak penggugat atas suatu proses peradilan yang adil, yaitu dengan menyatakan gugatan penggugat terhadap debitor (yang kemudian) pailit gugur demi hukum. Dalam prakteknya pun, jika akhirnya penggugat mencoba untuk mengajukan tuntutannya melalui proses pencocokan dalam kepailitan (hingga mungkin akhirnya timbul perselisihan dengan kurator), tak mudah bagi Hakim Pengawas atau Majelis Hakim – apabila ada prosedur renvoi – untuk memutuskan sengketa yang ada di luar yurisdiksinya.

 

Situasi seperti ini akan selalu berpotensi mengundang masalah hukum. Bagi penggugat, nasibnya akan sangat tergantung pada kebijakan Hakim Pengawas dan/atau Majelis Hakim-nya saja. Sejauh mana hakim akan menggunakan diskresinya untuk memerintahkan penyelesaian perkara tersebut pada pengadilan yang bersangkutan, serta kekuatan hukum penggunaan diskresi seperti ini, sementara ketentuan UU Kepailitan telah menyatakan proses di pengadilan tersebut gugur demi hukum. Bukankah sebenarnya ketentuan UU tersebut tetap dianggap berlaku? Dan gugurnya perkara tersebut terjadi tanpa perlu ada tindakan hakim; gugatan gugur demi hukum. Jurang antara norma dan rasa keadilan yang nyata, akibat adanya ketentuan pasal 29, tentu telah menghilangkan adanya kepastian hukum bagi khalayak pencari keadilan; dalam hal ini penggugat debitor (yang kemudian) pailit.

 

Kegagalan ketentuan pasal 29 memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang memadai bagi penggugat debitor pailit, akan berakibat timbulnya pelanggaran atas hak konstitusional penggugat. Menurut pasal 28D ayat 1 UUD 1945, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil adalah hak yang dijamin di dalam konstitusi. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan bagi pihak yang haknya dilanggar, untuk mengajukan permohonan pengujian pasal tersebut ke MK.

 

Tulisan ini sedikit banyak telah mencoba untuk mengupas adanya masalah yang ditimbulkan oleh pasal 29 UU Kepailitan, berikut kemungkinan jalan keluar yang lebih adil yang bahkan sudah diatur di dalam UU Kepailitan lama. Paling tidak, pihak yang berkepentingan (penggugat debitor yang kemudian dinyatakan pailit) dapat menggunakan argumen -argumen dalam tulisan ini untuk mendalilkan adanya pelanggaran konstitusional yang ditimbulkan pasal tersebut.

 

Sehubungan dengan prasyarat formil yang diatur di dalam hukum acara MK, tentu masih perlu dilihat dulu situasi dan kondisi kasus per kasus, sehubungan dengan penyusunan argumentasi menyangkut kedudukan hukum (legal standing) pihak bersangkutan. Untuk hal ini, ada ruang dan waktu yang lebih tepat. Yang jelas, siapa saja yang berada dalam posisi penggugat debitor (yang kemudian) pailit, terkait ketentuan pasal 29, berhak mengajukan permohonan pengujian ini. Barangkali FISBI tertarik mengajukannya lagi?

 

-----

*) Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).  

Tags: