Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan
Oleh: Imam Nasima *)

Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan

Perdebatan mengenai hak buruh dalam proses kepailitan yang bersumber dari permohonan uji konstitusionalitas yang diajukan serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), barangkali masih lekat di telinga kita.

Bacaan 2 Menit

 

Apabila debitor bertindak sebagai penggugat dalam sebuah perkara yang sedang berjalan, maka ada tiga situasi yang mungkin terjadi.

 

Pertama, tergugat dapat meminta hakim untuk menangguhkan perkara tersebut dan memberi kesempatan kepada kurator untuk mengambil alih (pasal 28 ayat 1). Apabila kurator mengambil alih perkara tersebut, maka hak dan kewajiban debitor sepenuhnya akan menjadi hak dan kewajiban kurator sebagai pengurus harta pailit.

 

Kedua, jika kurator menolak untuk menghadap atau menolak mengambil alih perkara tersebut, maka tergugat berhak memohon supaya perkara tersebut digugurkan (pasal 28 ayat 2 dan 3).

 

Ketiga, apabila kurator menolak untuk mengambil alih perkara tersebut dan permohonan menggugurkan perkara tidak dimohonkan, maka perkara tersebut akan tetap berjalan antara debitor sebagai penggugat dengan pihak lawannya (pasal 28 ayat 2). Ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengurangi kewenangan kurator untuk mengambil alih perkara dari debitor (pasal 28 ayat 4) dan hak kurator untuk meminta pembatalan atas perbuatan debitor sebelumnya, sepanjang perbuatan tersebut merugikan harta pailit dan pihak lawan mengetahui hal ini (pasal 30).

 

Meskipun UU Kepailitan cukup jeli dan hati-hati dalam mengatur situasi di mana debitor bertindak sebagai penggugat, tidak begitu halnya dengan situasi di mana debitor bertindak sebagai tergugat. Menurut UU Kepailitan, tuntutan hukum terhadap debitor yang perkaranya sedang berjalan di pengadilan dan bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit, dianggap gugur demi hukum dengan adanya putusan pernyataan pailit (pasal 29).

 

Adanya aturan tersebut tentu sangat merugikan pihak penggugat debitor (yang kemudian) pailit. Hal ini setidaknya dapat dinilai dari dua sudut pandang.

 

Pertama, secara teoretis sulit mempertahankan pendapat bahwa hak-hak penggugat dapat dihilangkan begitu saja, hanya karena adanya putusan pailit. Belum tentu seorang debitor yang dinyatakan pailit meninggalkan harta kekayaan yang nilainya nol. Tegasnya lagi, apabila ada pihak mengajukan gugatan di Pengadilan, sudah pasti ada sebuah usaha untuk meraih pemenuhan hak berdasar kebenaran. Paling tidak, kebenaran menurut pihak tersebut. Proses peradilan sendiri ditujukan sebagai sebuah forum untuk memperjuangkan kebenaran obyektif, dengan kata lain, dengan memperhatikan kebenaran dari sudut pandang pihak-pihak yang berselisih. Bukankah akan sangat mudah bagi kurator untuk cukup tidak mendatangi sidang tersebut demi menghindari adanya tagihan baru dan membiarkan debitor tetap menanggung sendiri penghukuman yang mungkin dijatuhkan terhadapnya (pasal 26 ayat 2)? Apakah ini adil bagi pihak penggugat?

Halaman Selanjutnya:
Tags: