Menggalang 100 Ahli HTN Jadi Pihak Uji Materi Presidensial Treshold
Berita

Menggalang 100 Ahli HTN Jadi Pihak Uji Materi Presidensial Treshold

​​​​​​​Satu hal yang menguat saat ini adalah fenomena keterbelahan masyarakat akibat polarisasi dukungan terhadap pasangan calon yang jumlahnya hanya dua.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, tidak dapat disampingkan kenyataan bahwa dalam pengujian norma pasal 222 UU Pemilu tersebut diwarnai dissenting opinion dari dua hakim MK, Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya menilai ambang batas pencalonan presiden menimbulkan ketidakadilan bagi parpol baru yang tidak bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden serta menimbulkan kerancuan dalam sistem presidensial.

 

Dalam sistem presidensial, mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Penentuan ambang batas pencalonan presiden menggunakan hasil pemilu legislatif merupakan corak dari sistem pemerintahan parlementer. 

 

Patut dicatat bahwa Pemilu pada Maret 2019 mendatang, diselenggarakan secara serentak. Dengan perkembangan dinamika politik sepanjang lima tahun sejak Pemilu terkahir kali diselenggarakan, perolehan suara dan jumlah kursi partai politik peserta pemilu 2014 besar kemungkinan berubah.

 

Selain itu, sebagian orang mencium ada upaya mengkanalisasi proses kandidasi calon presiden dan wakil presiden agar rakyat tidak memiliki pilihan calon pasangan yang lebih variatif. “Ada upaya menghadirkan sosok kontestan yang lemah dari calon (bisa jadi petahana) yang memang sudah lemah,” ujar Feri.

 

Baca:

 

Untuk itu, akademisi Universitas Nasional, Zainal Arifin Hoesein, menilai MK saat menghasilkan putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 menggunakan logika politik ketimbang nalar hukum yang dikedepankan. Menurut pria yang juga pernah menjadi panitera di MK ini, ketentuan UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) sangat jelas meletakkan ketentuan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemiliha umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

 

Penambahan syarat memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya sebagaimana ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dipandang sebagai langkah oligarki politik. Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 menurut Zainal telah melukai moral konstitusional. “MK harus kembali ke pada nalar hukum sebagai the final interpretation of Constitution,” ujar Zainal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait