Mengawasi Pengawas Pemilihan
Kolom

Mengawasi Pengawas Pemilihan

​​​​​​​Idealnya, ruang penilaian atas sisi materiil rekomendasi Bawaslu/Panwas harus dimaknai merupakan ranah pengadilan.

Bacaan 2 Menit

 

Dipahami bahwa KPU dalam bingkai tindaklanjut atas rekomendasi panwas diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi berdasar Pasal 140 UU 1/2015. Namun kewenangan itu dapat ditafsir teleologis sebagai suatu kewajiban melaksanakan hasil kajian materil Bawaslu/Panwaslu. Frasa “wajib menindaklanjuti” adalah konsekuensi pemeriksaan materil yang tidak boleh diulangi lagi. Kenapa tidak boleh diulangi, ini akan benderang jika melihat fungsi Bawaslu/Panwaslu dalam kewenangan berdasar Pasal 134 ayat 5 UU/1/2015.

 

Jika terjadi pemeriksaan materil yang berulang (sebagaimana das sollen) dalam mekanismenya ada beberapa hal yang menjadi janggal, mengangkangi asas penyelenggaraan pemilu yakni asas efisien. Tentu tidak efisien jika dilakukan pemeriksaan materil berulang kali. Terlebih terdapat di dua lembaga penyelenggara (Bawaslu/Panwas dan KPU), yang secara Teori Kewenangan penanganan pelanggaran (memeriksa formil dan materiil) oleh Bawaslu/Panwaslu didapatkan secara atributif. Ini adalah kewenangan antar lembaga yang tidak proposional dalam suatu penanganan yang sistematis serta mengangkangi pula Asas Proposional.

 

Boleh saja didalilkan jika pemeriksaan materil oleh KPU adalah suatu bentuk pengejewantahan Asas Kecermatan dan Azas kehati-hatian bagi KPU untuk kepentingan penerbitan keputusan sebagai tindaklanjut  atas rekomendasi (vide : pasal 140 UU 1/2015). Namun kecermatan itu toh proposional mengarah pada kewenangan dan fungsi. Bawaslu/Panwaslu harus cermat melaksanakan penanganan-penililaian formil dan materil, sedangkan KPU dituntut cermat dengan melaksanakan kajian yang bersifat formil atas rekomendasi.

 

Menilik pada Pasal 18 huruf a dan b PKPU No.13 Tahun 2014, pemaknaan mencermati kembali – menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan Pelanggaran Administrasi Pemilu, secara teleologis kajian pemeriksaannya diarahkan pada KPU untuk melakukan penyempurnaan soal sisi formil sebelum melaksanakan rekomendasi a quo.

 

Masalah pula terlihat dari substansi Pasal 18 huruf b PKPU 13 Tahun 2014 yang memberikan hadirnya organ negara kompeten dalam melahirkan kajian dengan kesempatan mendengar keterangan para pihak. Pemeriksaan materil oleh KPU memiliki kesamaan sifat terdapat pada pemeriksaan materil oleh Bawaslu/Panwaslu berdasarkan Pasal 13 ayat (3) huruf d Perbawaslu No. 14 Tahun 2017 yang mencantumkan unsur bukti , kemudian lanjut Pasal 21 ayat (1) yang memberi ruang pada ahli untuk didengar keterangannya.

 

Jika dikomparasikan baik Pasal 18 huruf b PKPU 13 Tahun 2014 dengan Pasal 13 ayat (3) huruf d  dan Pasal 21 ayat (1) Perbawaslu No. 14 Tahun 2017 adalah regulasi yang sejajar kedudukannya dalam rangka mengejar kebenaran materil pada satu sistem alur penanganan. Masalah akan muncul jika poin kebenaran materil pada penanganan oleh KPU berkontradiksi dengan poin kebenaran materil pada pemeriksaan Bawaslu/Panwaslu. Konsekuensi atas ini bias pada sisi kepastian hukum. Konsekuensi lanjutannya adalah menimbulkan ketidakpercayaan publik pada salah satu lembaga penyelenggara pemilu (bawaslu/panwas atau KPU).

 

Saran

Pelbagai permasalahan di atas menjadi batu sandungan dalam mewujudkan kontestasi pilkada yang berkualitas. Ibarat mawar, yang tumbuh bersamaan dengan durinya, tambal sulam regulasi pilkada memang perlahan melahirkan solusi, namun secara bersamaan pula hadir masalah-masalah baru. Secara faktual, masalah ini berakar pada substansi hukumnya.

Tags:

Berita Terkait