Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.

Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi

Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.

Bacaan 2 Menit

 

Obat resep dokter … ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka.  Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it.

 

Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya  harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha  menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan  perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

 

Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwadianto, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan. Menurut dia, kolusi dokter - perusahaan farmasi sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkan berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter. 

 

Dampak dari praktek ‘dokter kontrak' ini menyebabkan harga obat tinggi. Perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat'. Selanjutnya ditegaskan : ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi'. Namun, Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi ….. ‘Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya' (Koran Tempo, 16 Agustus 2007).

 

Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

 

Dengan demikian, sinyalemen kolusi dokter dengan perusahaan farmasi bagaikan angin, terasa ada tapi tidak bisa ditangkap.

 

Mata rantai kolusi

Tags: