Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.

Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi

Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.

Bacaan 2 Menit

 

Ada beberapa poin ‘Etika Promosi Obat' yang patut dikemukakan di sini. Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk. Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.

 

Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator. Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu. Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. Terakhir, ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya.

 

Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.  

 

Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented', dibandingkan ‘service oriented' atau ‘social oriented'?. Masalahnya, harga obat tetap  tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan.  

 

Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya.  Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur  seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung.

 

Kolusi sebagai tindak pidana korupsi

Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas' (‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan', Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan.

 

Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.

Halaman Selanjutnya:
Tags: