Mendudukkan Ormas
Editorial

Mendudukkan Ormas

​​​​​​​Kentalnya pendekatan politik dalam pengaturan soal organisasi masyarakat sipil, membuat banyak kerancuan dalam pengaturan Ormas. Mendorong pembahasan RUU Perkumpulan untuk mengganti UU Ormas merupakan jalan keluar hukum untuk membangun sektor nirlaba Indonesia yang sehat.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Ormas bukanlah jenis badan hukum. Namun UU Ormas mencampuradukkan dua badan hukum, Yayasan dan Perkumpulan, di dalam pengaturannya. Pemerintah seolah memaksakan definisi bahwa Ormas merupakan “Rumah Besar” bagi sektor nirlaba. Pemaksaan definisi ini jelas akan bermasalah di tingkat praktiknya. Perlu diingat, di sektor nirlaba ini berisi tidak hanya organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi kebijakan. Kegiatan di sektor nirlaba meliputi berbagai aspek kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, bencana alam, panti jompo, panti asuhan dan lain sebagainya.

 

Dalam isu eksekusi misalnya, jika Ormas berbadan hukum Yayasan bubar dan dilikuidasi, maka, kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan ke Yayasan lain yang memiliki kesamaan kegiatan atau badan hukum lain yang mempunyai kesamaan kegiatan atau kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan kegiatan Yayasan yang bubar. (Pasal 68 UU Yayasan).

 

Sedangkan sesuai Staatsbald Nomor 68 Tahun 1870, Ormas berbadan hukum Perkumpulan yang bubar dan dilikuidasi, maka, oleh balai harta peninggalan, yang demi hukum bertugas mengenai pengurusannya dan utang-utangnya dibayar, maka sisanya, bila ada, diberikan kepada mereka, yang pada saat pernyataan gugur menjadi anggota perkumpulan atau kepada yang berhak, masing-masing untuk bagian yang mereka bayarkan kepada perkumpulan. (Pasal 7 Staatsbald Nomor 68 Tahun 1870).

 

Keruwetan ini mesti segera dibenahi. Panggil para ahli hukum untuk duduk bersama mendiskusikan hal ini. Jangan sampai muncul ketidakpastian hukum bagi Ormas yang berbentuk badan hukum tertentu. Apalagi jika dianggap sepihak tak sesuai dengan Pancasila maupun Konstitusi.

 

Jangan terus menggunakan pendekatan politik, apalagi politik-keamanan, terhadap sektor nirlaba Indonesia. Syarat harus mendaftar ke Kesbangpol menjadi persoalan serius bahwa Ormas yang terdaftar tak jauh dari “campur tangan” politik. Sehingga, subyektifitas sangat terlihat.

 

Jika dilihat dari catatan hasil pemantauan pelaksanaan UU Ormas Koalisi Kebebasan Berserikat, sepanjang periode Juli 2014-Juli 2015 ditemukan 10 kebijakan terkait UU Ormas yang diterbitkan pemerintah pusat dan daerah. Bahkan, terdapat 35 peristiwa dan 39 tindakan yang dikategorikan bertentangan dengan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat.

 

Catatan-catatan seperti ini bisa menjadi pegangan para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi pendekatan UU Ormas. Sejalan dengan itu, sepatutnya pemerintah dan DPR segera mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang telah masuk Prolegnas 2015-2019. Dari sisi hukum, RUU Perkumpulan lebih memiliki dasar dan memperbarui pengaturan badan hukum Perkumpulan sampai saat ini masih diatur dalam peraturan kuno Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870.

Tags: