Mencari Solusi Masalah BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA
Berita

Mencari Solusi Masalah BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA

Diantaranya membenahi manajemen rumah sakit, hingga merevisi UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol

Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen per 1 Januari 2020. Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu.

 

Implikasi dari putusan itu, iuran BPJS Kesehatan kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur Pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018. Tentunya, putusan MA ini membuat pemerintah akan berpikir keras agar BPJS Kesehatan tidak semakin mengalami masalah defisit anggaran yang bisa berdampak pada pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.              

 

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo meminta pasca putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran, BPJS Kesehatan tetap memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat sesuai standar layanan. Meskipun, BPJS Kesehatan diperkirakan bakal terus mengalami defisit lantaran banyak tagihan layanan rumah sakit dan klinik yang terus membengkak setiap bulannya. 

 

“Kalau BPJS Kesehatan bangkrut yang rugi siapa? Yang paling terkena dampaknya adalah rakyat sendiri,” ujar Rahmad dalam sebuah diskusi di Kompleks Gedung Parlemen, Kamis (13/3/2020). Baca Juga: Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

 

Menurutnya, harus ada jalan keluar untuk menyelamatkan layanan kesehatan masyarakat dan BPJS dari ancaman defisit. Pertama, keharusan subsidi dari anggaran sektor pembangunan infrastruktur yang masih berjalan. Misalnya, subsidi banyak sektor dikurangi jatahnya. Sementara dialihkan ke BPJS Kesehatan.

 

Kedua, salah satu penyebab defisit dana BPJS adalah biaya yang seharusnya tak perlu diklaim rumah sakit justru malah dibebankan ke BPJS Kesehatan. Seperti, seseorang yang seharusnya dapat melahirkan normal, malah diambil tindakan secara operasi sesar yang diklaim biayanya membengkak.

 

Jika berbagai upaya telah dilakukan, tapi masih berujung defisit, negara dapat menggunakan dana cadangan untuk menutupi kekurangan dana penyelengggaraan kesehatan masyarakat. “Persoalannya, dana cadangan terbatas,” kata dia.

 

“Tujuan gotong royong, saling membantu, kepatuhan pengguna layanan BPJS Kesehatan membayar iuran per bulannya juga bisa mengurangi beban defisit dana BPJS.”

 

Selain itu, pemerintah harus ketat mengaudit manajemen rumah sakit. Bila perlu dilakukan punishment terhadap rumah sakit yang melakukan pelanggaran. “Karena ini menyangkut keselamatan jiwa, kesehatan masyarakat. Kalau BPJS bangkrut rakyat terkena dampaknya,” katanya.

 

Penyebab defisit

Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS Hery Susanto menilai penyebab defisit akibat sistem dan desain besar BPJS yang salah urus. Pertama, rumah sakit dinilai belum rela dengan pola Indonesia Case Base Group (INA-CBG) yakni aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim kepada pemerintah.

 

Sebab, pola paket pembayaran BPJS Kesehatan dengan model kelompok diagnosis dianggap terlampau murah. Karena murah, menjadi penyebab banyaknya “permainan” di lapangan berupa klaiim fiktif. Menurutnya, KPK tahun lalu merilis, setidaknya ada satu juta klaim fiktif. Selain memang banyak pula yang menunggak atau tak membayar iuran.

 

Pola pembayaran INA-CBG ini membuat oknum rumah sakit “bermain” angka. Menurutnya, berapapun pasti preminya dimungkinkan terdapat dana yang meningkat. Akibatnya, bakal banyak klaim fiktif.  Makanya, tak ada manfaat pula dinaikan iuran BPJS Kesehatan. “Sampai sekarang belum bisa dihentikan karena masih berlangsung dan penyebabnya adalah tidak adanya sanksi hukum yang tegas masih sifatnya administratif,” kata dia.

 

Solusi yang mungkin dilakukan pemerintah, kata Hery, dengan merevisi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Menurutnya, dibutuhkan pengaturan baru dalam mengatasi keterpurukan pengadaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Begitu pula perlunya perbaikan berbagai instrumen teknis bagi pelayanan kesehatan.

 

Dia juga mengusulkan bila BPJS Kesehatan dipandang tak mampu menangani pelayanan kesehatan masyarakat dengan baik, jaminan kesehatan nasional dialihkan ke Badan Penyelenggara (BP) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), khusus kalangan pekerja. Sementara BPJS nantinya hanya mengurus masyarakat kategori miskin, Aparatus Sipil Negara (ASN), dan non-ASN.

 

Sebelumnya, Majelis MA mengabulkan uji materi Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020. Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu.

 

Permohonan bernomor 7P/HUM/2020 ini diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi beranggotakan Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Intinya, menurut Majelis, Pasal 34 ayat (1) dan (2) PP 75/2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H, dan Pasal 34 UUD 1945.

 

Selain itu, bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (UU BPJS); dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 

Dengan dibatalkannya aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, berarti kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur Pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018.    

 

Berikut besaran iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP):

Pasal 34 Perpres 75/2019

Pasal 34 Perpres 82/2018

Rp42.000,00 untuk pelayanan Kelas III

Rp25.500,00 untuk pelayanan Kelas III

RpRp110.000,00 untuk pelayanan Kelas II

Rp51.000,00 untuk pelayanan Kelas II

Rp160.000,00 untuk pelayanan Kelas I

Rp80.000,00 untuk pelayanan Kelas I

Tags:

Berita Terkait