Menatap Masa Depan Collecting Society
Perkara Labels vs YKCI:

Menatap Masa Depan Collecting Society

Jika gugatan dikabulkan, tak hanya mengancam Collecting Society, tapi juga nasib pencipta lagu atas performing right mereka.

NNC
Bacaan 2 Menit

 

Kasus  ini sebenarnya bermula sejak lama, berawal dari merebaknya penggunaan teknologi Nada Sambung Pribadi (NSP) alias Ring back Tones (RBT) dalam layanan operator telekomunikasi telepon genggam. Menurut pihak labels, NSP yang diturunkan dari master rekaman bukan termasuk kegiatan mempertunjukkan yang padanya melekat hak mengumumkan. Ia dianggap semacam kegiatan menggandakan. Hak menggandakan inilah yang dipunyai labels atas master rekaman.

 

Sedangkan YKCI, menganggap kegiatan menurunkan dari master rekaman dengan cara penyebaran lewat NSP  sama halnya seperti kegiatan mengumumkan. Dari situlah YKCI—berbekal surat kuasa dari para pencipta—bisa menagih hak mengumumkan. Baik labels dan YKCI sama-sama merasa punya hak menagih pada penyedia jasa NSP.

 

Lantaran kebanyakan NSP membebankan hak cipta pada konsumen melalui biaya langganan,  YKCI yang merasa punya kewenanganuntuk menagih hak para pencipta itu pernah menggugat Telkomsel di Pengadilan Niaga. Maklum, dalam bisnis NSP, pembayaran royalti yang menurut YKCI mestinya dibayarkan pada pencipta itu, pada prakteknya operator membayar royalti pada perusahaan labels.

 

Sayang, gugatan YKCI kandas gara-gara surat kuasa. Dengan bekal itulah Labels kemudian melayangkan gugatan ke PN Jakarta Selatan sebagai kasus perdata biasa. Ada kecenderungan kasus-kasus pelanggaran hak cipta digiring ke wilayah perdata murni, kata James F Sundah, pencipta lagu ‘Astaga' yang tergabung dalam Tim Perumus Revisi UU Hak Cipta mengomentari gugatan ini.

 

Melihat empuknya bisnis NSP, agaknya Labels tidak rela berbagi pendapatan dengan pencipta lagu. Maklum, di era serba digital non fisik seperti sekarang ini, selain terancam rugi akibat adanya pembajakan penjualan kaset atau CD, beralih ke NSP memang cenderung lebih mudah untuk menarik lebih banyak fulus. Yang direnggut akhirnya  hak pencipta. Konsumen bayar hak cipta iya, tapi nggak pernah masuk ke pencipta. Uang mereka masuk ke produser rekaman semua,  ujar James.

 

Jika gugatan nantinya dikabulkan Majelis, akan muncul paradigma baru dari lembaga peradilan dalam memandang NSP berikut keberadaan  collecting society. Dengan dikabulkannya gugatan, penurunan dari master rekaman menjadi NSP dianggap sebagai hak yang melekat pada labels dari master rekaman.

 

Hakim mesti bisa membedakan bahwa RBT itu masuk kategori performing right, mempertunjukkan. Bukan mechanical right. Itu mesti dipahami, ujar James. Yang dimaksud hak eklusif labels atas master rekaman seperti diungkit-ungkit perusahaan rekaman, lanjut James, hanya sebatas hak menggandakan dan menyewakan.

Tags: