Menanti Sikap DPR atas Perppu Penanganan Covid-19
Utama

Menanti Sikap DPR atas Perppu Penanganan Covid-19

Sejak diterbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah berlaku, sampai ada sidang DPR berikutnya yang menyatakan setuju atau tidak setuju dengan Perppu tersebut.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK telah memberi tiga parameter adanya “kegentingan yang memaksa”. Pertama, adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.   

 

Merujuk UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tidak memberi batasan pengertian Perppu. Secara prinsip, Perppu sudah dapat berlaku dan mengikat sejak diterbitkan meski belum mendapat persetujuan DPR. Bahkan, memiliki kedudukan setingkat UU seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

 

Secara prosedural, terbitnya Perppu oleh presiden, diajukan ke DPR pada masa persidangan berikutnya untuk mendapat persetujuan sesuai bunyi Pasal 22 UUD Tahun 1945. Jika tidak disetujui, Perppu itu harus dicabut. Pengajuan Perppu dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU seperti diatur Pasal 52 UU No.12 Tahun 2011.

 

Pemberian persetujuan atau penolakan sebuah Perppu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR sebagai forum rapat tertinggi di parlemen. Namun, kewenangan DPR dalam UUD Tahun 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 serta praktiknya hanya sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap Perppu yang diajukan presiden/pemerintah.

 

Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva sebelumnya pernah mengungkapkan Perppu yang diterbitkan pemerintah dan disetujui oleh DPR dalam praktiknya (pemerintahan sebelumnya) cenderung murni politik. Karena itu, melalui putusan MK itu diberi petunjuk atau parameter bagi parlemen dalam memberi persetujuan atau penolakan terhadap terbitnya sebuah Perppu.  

 

Bagi saya hampir semua itu adalah (pertimbangan, red) politik, persetujuan politik. Untuk tidak terlalu politik, ini loh koridornya (putusan MK), karena negara ini negara hukum. Sebab, produk Perppu itu menunjukan absolutisme presiden dalam keadaan sementara.”

 

Pertanyaannya, jika sebagian substansi Perppu No. 1 Tahun 2020 dinilai mengandung masalah itu, bisakah sebagian kecil pasalnya ditolak dan sebagian besarnya Perppu tersebut disetujui DPR? Kita tunggu saja!

Tags:

Berita Terkait